Translate

BERITA TERKINI

Delman: Jejak Transportasi Tradisional yang Masih Bertahan di Tengah Arus Modernisasi

Dok. Wikipedia

ACEH UTARA | PASESATU.COM 
— Di tengah kemajuan teknologi transportasi, delman tetap menjadi ikon kendaraan tradisional yang menyimpan nilai sejarah dan budaya tinggi. Kendaraan roda dua atau empat yang ditarik oleh kuda ini tidak hanya menjadi alat transportasi masa lalu, tetapi juga simbol romantika dan warisan lokal yang masih bertahan hingga kini di beberapa wilayah Indonesia.

Kata “delman” diperkirakan berasal dari nama Charles Theodore Deeleman, seorang insinyur asal Belanda yang memperkenalkan kendaraan kuda di Batavia pada pertengahan abad ke-19. Penjelasan ini merujuk pada kajian sejarah dalam buku Transportasi di Indonesia (Depbudpar, 2003), serta dilansir dari artikel sejarah di situs Ensiklopedia Indonesia (Ensiklopedia Indonesia, Tempo.co, 2017).

Seiring waktu, nama Deeleman diadopsi masyarakat lokal menjadi “delman”, meski di daerah lain istilah berbeda digunakan, seperti “andong” di Yogyakarta, “bendi” di Sumatera Barat, dan “sado” di daerah Sumatera Utara.

Menurut Dr. Peter Carey, sejarawan Universitas Oxford yang banyak meneliti sejarah Jawa, delman pada masa kolonial menjadi simbol mobilitas elite. “Delman atau dokar digunakan kalangan Belanda dan priyayi untuk transportasi perkotaan,” ujar Carey seperti dikutip dari wawancaranya dalam Historia.id (2016).

Saat itu, delman digunakan untuk mengantar orang ke kantor, pasar, atau stasiun kereta. Seiring waktu, kendaraan ini diadopsi oleh rakyat sebagai angkutan umum karena murah dan praktis.

Hingga kini, delman masih dapat ditemui di sejumlah kota sebagai alat transportasi wisata. Di Aceh Utara, khususnya Kota Panton Labu, delman hias menjadi daya tarik masyarakat setiap malam.

“Delman ini bisa angkut delapan penumpang. Kami keliling kota sekitar 20 menit. Rutenya dari Jalan Tgk Chik Di Tunong ke Jalinsum, lalu kembali ke pangkalan,” ujar Riski (21), kusir delman yang ditemui di Kota Panton Labu, Minggu malam (3/8/2025).


Menurutnya, delman tersebut didatangkan dari Sumatera Barat. Saat ini terdapat tiga unit delman yang aktif beroperasi di kawasan itu.

Warga lokal seperti Nora, seorang ibu rumah tangga, menyambut baik keberadaan delman. “Naik delman bersama anak memberi pengalaman baru. Kendaraan tradisional seperti ini makin langka dan patut dilestarikan,” tuturnya.

Menurut Prof. Dr. Taufik Abdullah, sejarawan dari LIPI (kini BRIN), delman mencerminkan sistem mobilitas masyarakat pra-modern yang bersahabat dengan lingkungan. “Delman adalah ruang sosial yang intim. Ia bukan sekadar alat transportasi, tapi juga bagian dari narasi budaya,” ungkapnya dalam wawancara dengan Kompas.com, edisi 22 Juni 2010.

Di banyak kota seperti Yogyakarta, Solo, dan Bukittinggi, delman bahkan dilestarikan secara formal sebagai bagian dari program wisata budaya dan edukasi.

Delman tak hanya hadir di jalanan, tetapi juga dalam budaya populer. Lagu anak-anak berjudul Naik Delman, ciptaan Pak Kasur yang populer sejak tahun 1960-an, menjadi bukti betapa lekatnya kendaraan ini dalam memori kolektif bangsa.

Syairnya yang berbunyi:

“Pada hari minggu ku turut ayah ke kota
Naik delman istimewa kududuk di muka...”

menjadi lagu wajib anak-anak di Indonesia dan terus diajarkan lintas generasi.

Delman bukan hanya peninggalan sejarah, tapi juga bagian dari identitas budaya bangsa. Di tengah era kendaraan listrik dan transportasi digital, keberadaan delman — walau terbatas — tetap menjadi pengingat akan kesederhanaan, kehangatan, dan nilai-nilai lokal yang tak lekang oleh waktu.


Editor: Syahrul Usman