BERITA TERKINI

Pedagang Mainan di Panton Labu Terjepit Serbuan Toko Online dan Perubahan Gaya Bermain Anak

Pedagang Mainan di Panton Labu Terjepit Serbuan Toko Online dan Perubahan Gaya Bermain Anak

ACEH UTARA | PASESATU.COM
 — Perkembangan teknologi digital yang semakin masif turut mengubah pola konsumsi masyarakat, termasuk dalam sektor penjualan mainan anak-anak. Fenomena ini mulai dirasakan sejumlah pedagang mainan di Kota Panton Labu, Kabupaten Aceh Utara, yang mengeluhkan penurunan omzet secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir.

Dua faktor utama yang dianggap memengaruhi lesunya usaha mereka adalah menjamurnya toko daring (e-commerce) serta perubahan gaya bermain anak-anak yang kini lebih condong ke perangkat digital seperti ponsel dan laptop.

“Tahun ini terasa sekali sepi, hampir tidak ada anak-anak yang datang beli mainan seperti dulu. Sekarang mereka lebih senang main di handphone atau laptop. Canggihnya teknologi sekarang benar-benar terasa pengaruhnya,” ujar Razali (40), salah seorang pedagang mainan anak di kawasan Panton Labu, Kamis, 17 Juli 2025.

Menurut Razali, kehadiran platform belanja daring turut memicu persaingan harga yang tidak sehat. Banyak pembeli yang membandingkan harga langsung di lokasi dengan harga di toko online yang biasanya jauh lebih murah karena tanpa biaya sewa toko dan karyawan.

“Kita jadi terpaksa memotong keuntungan kalau ada pembeli yang bandingkan harga. Kalau enggak, ya mereka pergi cari di online saja,” keluhnya.

Meski begitu, ia juga menyadari bahwa bukan hanya toko online yang menyebabkan lesunya penjualan. Beberapa faktor lain seperti daya beli masyarakat yang menurun, kondisi ekonomi lokal yang stagnan, dan perubahan kebiasaan bermain anak-anak turut memberi kontribusi signifikan.

“Saya tidak sepenuhnya menyalahkan toko online. Banyak hal lain juga, seperti anak-anak sekarang jarang bermain di luar. Ini semua berpengaruh,” tambah Razali.

Hal senada disampaikan oleh Khaidir (31), pedagang mainan keliling yang berjualan dari kampung ke kampung. Ia mengakui bahwa persaingan dengan toko online membuatnya berpikir untuk ikut terjun ke dunia digital. Namun, keterbatasan pengetahuan teknologi membuat niat itu sulit direalisasikan.

“Sebenarnya saya ingin jualan juga lewat online biar bisa bersaing. Tapi saya enggak paham sama sekali caranya, bingung harus mulai dari mana,” ungkapnya.

Dahulu, Khaidir bisa membawa pulang penghasilan bersih antara Rp200 ribu hingga Rp300 ribu per hari. Namun kini, dalam kondisi pasar yang lesu, ia mengaku hanya bisa meraih pendapatan sekitar Rp100 ribu per hari, bahkan tak menentu.

“Kalau sedang ramai pembeli, bisa dapat Rp200 ribu. Tapi kalau sepi, ya cuma Rp100 ribu atau malah kurang,” ujarnya.

Keterbatasan dalam memahami teknologi digital menjadi tantangan tersendiri bagi para pedagang kecil seperti Khaidir dan Razali. Mereka mengaku belum pernah mendapat pelatihan atau pendampingan dari pihak terkait dalam hal digitalisasi UMKM, padahal itu dinilai penting untuk bisa bertahan di tengah gempuran pasar digital.

Fenomena global yang juga berdampak lokal ini bukan hanya soal persaingan antar kanal penjualan, tetapi juga tentang perubahan perilaku konsumen, khususnya anak-anak. Mainan fisik kini tak lagi menjadi pilihan utama hiburan, digantikan oleh permainan digital berbasis aplikasi, video game, dan tayangan interaktif di media sosial.

“Sekarang anak-anak kecil sudah pintar pegang HP. Mereka lebih suka main di YouTube atau game. Mainan seperti mobil-mobilan, robot, boneka — sudah jarang disentuh,” kata Razali dengan nada prihatin.

Para pedagang di Aceh Utara berharap ada dukungan nyata dari pemerintah daerah, terutama melalui Dinas Koperasi dan UKM, agar mereka bisa mendapatkan pelatihan digital marketing, akses ke platform dagang daring, serta pendampingan adaptasi teknologi.

“Kami tidak minta bantuan uang. Tapi kalau bisa, beri kami pelatihan. Biar kami bisa juga ikut jualan online seperti yang lain,” harap Khaidir.(*) 

Editor: Syahrul Usman