Kuah Pliek, Warisan Rasa, Jejak Sejarah, dan Jati Diri Budaya Aceh
![]() |
Foto: Dok budaya-indonesia.org |
BANDA ACEH | PASESATU.COM – Di tengah gempuran budaya modern dan globalisasi kuliner, Kuah Pliek U tetap bertahan sebagai mahakarya cita rasa dan identitas budaya masyarakat Aceh. Bukan sekadar makanan, tetapi sebuah warisan yang mengandung filosofi hidup, kearifan lokal, serta jejak sejarah peradaban.
Jejak Peradaban dari Dapur ke Istana
Kuah Pliek U dipercaya telah hadir sejak masa kejayaan Kesultanan Aceh Darussalam. Dulu, ia menjadi sajian resmi dalam lingkungan kerajaan sebagai lambang kemakmuran dan penghormatan terhadap tamu. Dalam Kompasiana (2023), disebutkan bahwa Kuah Pliek U merupakan simbol kolektivitas dan nilai komunal masyarakat Aceh, sekaligus bukti bagaimana dapur rakyat menjadi cermin ketahanan budaya.
Kekayaan kuliner ini menjadi pengikat lintas generasi, yang diwariskan secara lisan dan praktik dari ibu kepada anak, dari kenduri ke kenduri, tanpa pernah kehilangan esensinya.
Filosofi di Balik Bahan dan Rasa
Nama Pliek U mengacu pada ampas kelapa tua hasil pemerasan minyak, yang kemudian difermentasi dan dikeringkan. Proses ini mencerminkan filosofi penting dalam budaya Aceh: tidak ada yang terbuang, semua harus dimanfaatkan dengan penuh rasa syukur. Hal ini sejalan dengan konsep hidup masyarakat pesisir dan pertanian Aceh yang menjunjung tinggi harmoni dengan alam.
Dalam situs Wikipedia Bahasa Indonesia (2024), dijelaskan bahwa pliek u menjadi elemen rasa yang khas, gurih, dan beraroma tajam,menjadi ciri pembeda utama dari masakan ini. Dipadukan dengan aneka bahan lokal seperti daun melinjo, pepaya muda, rebung kecombrang, hingga kacang tanah, kuah ini adalah representasi dari tanah Aceh yang subur dan kaya ragam hayati.
Bumbu khas seperti asam sunti (belimbing wuluh) yang difermentasi, menjadi bukti teknik pengawetan tradisional yang telah dipraktikkan jauh sebelum teknologi modern hadir.
Simbol Gotong Royong dan Solidaritas Sosial
Kuah Pliek U bukanlah makanan yang dimasak untuk satu porsi, melainkan untuk banyak orang, dalam satu semangat: kebersamaan. Dalam budaya Aceh, ia menjadi menu utama dalam kenduri, meugang, hingga peringatan Maulid Nabi. Portal KMAMesir.org (2020) menyebutkan bahwa penyajian Kuah Pliek U adalah bagian dari ritual sosial yang mempererat ikatan masyarakat dan keluarga.
Proses memasaknya pun dilakukan secara gotong royong, melibatkan banyak tangan dan hati. Tradisi ini tidak hanya melestarikan rasa, tapi juga nilai-nilai sosial dan spiritual yang melekat dalam budaya Aceh.
Menjaga Jati Diri Lewat Kuliner
Di tengah arus modernisasi, Kuah Pliek U menghadapi tantangan eksistensi. Namun demikian, pemerintah dan komunitas budaya telah mulai aktif melakukan dokumentasi dan promosi kuliner ini. Menurut RRI.co.id (2021), Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh telah menetapkan Kuah Pliek U sebagai bagian dari daftar warisan kuliner daerah, dan memasukannya ke dalam agenda pariwisata budaya.
Melestarikan Kuah Pliek U berarti merawat sejarah, mempertahankan filosofi hidup, dan meneguhkan jati diri. Kuliner bukan hanya urusan rasa, tetapi juga narasi budaya yang mencerminkan nilai-nilai kebersamaan, kesederhanaan, dan keberlanjutan.(*)
Disclaimer:
Artikel ini disusun untuk tujuan edukasi publik dan pelestarian budaya daerah.