Viral Bendera One Piece Jelang 17 Agustus: Antara Simbol Perlawanan, Ekspresi Kebebasan, dan Kekhawatiran Negara
![]() |
Ilustrasi, Bendera bajak laut ala anime One Piece. Dok Ist |
JAKARTA | PASESATU.COM — Menjelang peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia, media sosial diramaikan oleh tren unik sekaligus kontroversial. Dimana pengibaran bendera bajak laut ala anime One Piece. Bendera hitam dengan gambar tengkorak bertopi jerami, simbol utama kelompok Straw Hat Pirates dalam manga dan anime One Piece, berkibar di berbagai tempat, mulai dari rumah warga, kendaraan pribadi, hingga tempat umum. Fenomena ini menuai ragam reaksi dari masyarakat hingga pejabat negara.
Tren ini tidak muncul secara tiba-tiba. Ia mewakili gabungan antara budaya pop, ekspresi sosial anak muda, dan bentuk kritik simbolik terhadap struktur kekuasaan yang dirasa tidak berpihak pada rakyat kecil. Namun, tidak sedikit pula yang menilai aksi tersebut sebagai tindakan provokatif yang mengancam persatuan dan dapat menyinggung simbol negara.
Akar Fenomena: One Piece dan Simbolisme Perlawanan
Anime One Piece karya Eiichiro Oda sudah lama dikenal sebagai karya fiksi yang sarat pesan sosial. Dalam ceritanya, kelompok Straw Hat Pirates yang dikapteni oleh Monkey D. Luffy, digambarkan sebagai pembela rakyat kecil dan pejuang kebebasan yang menentang penguasa dunia yang korup, yaitu kelompok bangsawan langit bernama Tenryubito dan Pemerintah Dunia.
Dalam dunia nyata, pesan ini ternyata dirasakan relevan oleh banyak anak muda Indonesia.
“Simbol bajak laut ini bukan tentang kekacauan, tapi tentang perlawanan terhadap ketidakadilan. Tentang mimpi dan kebebasan,” tulis seorang pengguna X, seperti dikutip dari Detik.com.
Pengibaran bendera Straw Hat dianggap sebagai simbol non-formal nasionalisme baru, bukan yang kaku dan seremonial, tetapi yang bersumber dari keinginan untuk merdeka dari ketimpangan, korupsi, dan dominasi elit.
Budaya Pop sebagai Medium Kritik Sosial
Menurut IDN Times, ajakan untuk mengibarkan bendera One Piece pertama kali ramai di TikTok dan platform X. Penggunaan simbol ini memunculkan narasi alternatif di tengah stagnasi ekspresi nasionalisme konvensional. Narasi tersebut kemudian dikaitkan dengan “lawan politik” dari negara, yakni rakyat biasa.
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Surabaya, Ahmad Saifulloh, menilai fenomena ini bukan sekadar tren, melainkan indikator krisis representasi politik dan sosial.
“Fenomena ini menandakan kekecewaan anak muda terhadap negara dan para pemimpinnya. Mereka merasa tidak didengar, tidak dilibatkan, dan pada akhirnya menggunakan simbol fiksi sebagai pelarian identitas,” jelasnya kepada UMSurabaya.ac.id.
Lebih jauh, menurut Saifulloh, ini adalah bentuk perlawanan simbolik yang mengindikasikan adanya gap generasi antara warga muda dan elite penguasa. “Bendera fiksi ini menjadi tanda bahwa simbol formal negara tidak lagi cukup relevan bagi sebagian generasi muda,” tambahnya.
Kekhawatiran Negara dan Respon Politik
Fenomena ini tak luput dari sorotan para wakil rakyat. Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, dalam wawancara dengan CNN Indonesia, menilai adanya indikasi bahwa gerakan ini dapat memicu disintegrasi sosial.
“Kami menerima laporan bahwa ada pihak-pihak yang berusaha mempolitisasi tren ini. Ini bisa mengarah ke gerakan yang memecah belah bangsa,” ujar Dasco.
Sementara itu, anggota Komisi II DPR, Firman Soebagyo, menilai aksi ini bisa menimbulkan salah tafsir di masyarakat.
“Bendera Merah Putih adalah simbol kedaulatan. Jika dikibarkan berdampingan atau digantikan oleh simbol lain, bahkan fiksi, maka itu bisa menjadi bentuk penistaan simbol negara,” ujar Firman kepada Detik.com.
Pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Budi Gunawan menyatakan akan bertindak tegas apabila ditemukan unsur kesengajaan dalam penyebaran narasi atau pengibaran bendera bajak laut yang terinspirasi dari tokoh fiksi manga One Piece, terutama menjelang peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia.
Dalam siaran pers resmi, Jumat (1/8/2025), Budi Gunawan menegaskan bahwa tindakan semacam itu tidak bisa ditoleransi karena berpotensi mencederai martabat simbol negara, yakni Bendera Merah Putih.
“Terdapat konsekuensi hukum yang serius terhadap tindakan yang dinilai merendahkan kehormatan bendera negara,” kata Budi. “Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 dengan tegas melarang pengibaran Bendera Negara di bawah lambang atau simbol lain, sebagaimana disebutkan pada Pasal 24 ayat (1).”
Pasal tersebut menyatakan bahwa "Setiap orang dilarang mengibarkan Bendera Negara di bawah bendera atau lambang apa pun." Ketentuan ini, menurut Budi Gunawan, merupakan upaya untuk menjaga marwah dan kedudukan bendera sebagai simbol resmi negara yang telah diperjuangkan dengan darah dan nyawa para pahlawan.
Budi menambahkan, pengibaran bendera selain Merah Putih terutama yang dikaitkan dengan simbol non-resmi atau bersifat fiksi dapat menimbulkan kesalahpahaman di masyarakat dan bahkan memicu provokasi di ruang publik.
“Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai perjuangan dan sejarah kemerdekaan, mari kita menahan diri dan tidak menggunakan simbol-simbol yang tidak mencerminkan semangat nasionalisme,” tegasnya.
Isu ini mencuat setelah beredarnya sejumlah video di media sosial yang memperlihatkan pengibaran bendera bergambar tengkorak bersilang tulang—simbol bajak laut Jolly Roger dari serial anime One Piece di berbagai lokasi. Bendera tersebut tampak terpasang di belakang kendaraan besar seperti truk dan bahkan di depan rumah warga.
Sebagian warganet menilai pemasangan bendera itu sebagai bentuk ekspresi kebebasan berekspresi menjelang peringatan HUT RI. Namun, ada pula yang menganggapnya sebagai bentuk sindiran terhadap kondisi pemerintahan dan bahkan disebut-sebut sebagai simbol “perlawanan halus.”
Menko Polhukam menekankan bahwa pemerintah tidak anti terhadap kreativitas warga, terutama dalam menyambut momen kemerdekaan. Namun, ia menegaskan bahwa ekspresi tersebut harus tetap berada dalam batas konstitusional dan tidak bertentangan dengan aturan hukum.
“Kami sangat menghargai inovasi dan kreativitas masyarakat, termasuk dalam menyemarakkan peringatan kemerdekaan. Tetapi jangan sampai simbol negara kita direndahkan atau dikolaborasikan dengan lambang-lambang lain yang tidak relevan,” ujarnya.
Pemerintah, kata dia, telah menyiapkan berbagai langkah antisipatif, termasuk pendekatan persuasif dan edukatif terhadap masyarakat agar tidak salah langkah dalam mengekspresikan rasa cinta tanah air.
Menko Polhukam juga mengimbau seluruh elemen masyarakat, termasuk generasi muda, untuk mengedepankan rasa hormat terhadap lambang negara sebagai bentuk penghargaan atas perjuangan para pahlawan. Ia mengajak agar peringatan kemerdekaan RI ke-80 dijadikan momentum mempererat persatuan bangsa, bukan justru menciptakan polemik baru di ruang publik.
“Jangan sampai pengibaran bendera yang tidak sah menimbulkan gesekan horizontal di masyarakat. Kita butuh ketenangan dan kesatuan menjelang Hari Kemerdekaan,” pungkasnya.
Sebagai pengingat, UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan memuat larangan tegas terkait perlakuan yang tidak pantas terhadap simbol negara. Pasal 66 UU tersebut bahkan menyebutkan ancaman pidana bagi pelanggar ketentuan, termasuk denda dan kurungan.
Pasal 66 Ayat (1): “Setiap orang yang dengan sengaja mengibarkan Bendera Negara di bawah bendera atau lambang lain dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp100 juta.”
Aspek Legalitas: Di Mana Batas Ekspresi?
Secara hukum, tidak ada aturan eksplisit yang melarang pengibaran bendera fiksi atau budaya pop seperti bendera One Piece. Namun, UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, mengatur bahwa bendera Merah Putih tidak boleh digantikan atau dikibarkan sejajar dengan simbol lain dalam upacara atau tempat resmi.
Pasal 24 huruf c menyebutkan bahwa “Setiap orang dilarang mengibarkan Bendera Negara yang rusak, robek, luntur, kusut, atau kusam.” Sementara dalam pasal lain ditegaskan bahwa penghormatan terhadap Bendera Negara wajib dilakukan oleh setiap warga negara.
Dengan demikian, pengibaran bendera One Piece secara pribadi dan tidak menggantikan Merah Putih sebenarnya tidak melanggar hukum secara langsung, namun menjadi sensitif ketika terjadi di ruang publik atau digabungkan dalam konteks upacara kenegaraan.
Reaksi Kontra: Sindiran atau Ancaman?
Beberapa kelompok masyarakat menilai tren ini sebagai bentuk pelecehan terhadap semangat perjuangan para pahlawan nasional. Media sosial juga dipenuhi perdebatan soal apakah bendera bajak laut layak dikibarkan pada momen sakral kemerdekaan.
Namun di sisi lain, tidak sedikit pula yang menyebut pengibaran bendera One Piece bukanlah bentuk penghinaan terhadap negara, melainkan ekspresi kreativitas dan bagian dari kebebasan berekspresi yang dijamin konstitusi.
Fenomena Global: Indonesia Bukan Satu-satunya
Menariknya, penggunaan simbol One Piece sebagai ekspresi sosial juga pernah terjadi di negara lain. Dalam laporan AS.com (Meristation), bendera yang sama sempat dianggap “ancaman nasional” di salah satu negara karena dikibarkan dalam aksi protes massa.
Hal ini menunjukkan bahwa simbol budaya pop global bisa memiliki resonansi kuat yang melampaui batas negara dan genre hiburan. (*)