BERITA TERKINI

6 Tahun atau 8 Tahun? MK Siap ‘Ketok Palu’ Masa Jabatan Keuchik Aceh

6 Tahun atau 8 Tahun? MK Siap ‘Ketok Palu’ Masa Jabatan Keuchik Aceh

JAKARTA | PASESATU.COM 
– Suhu politik di tingkat gampong Aceh memanas! Mahkamah Konstitusi (MK) resmi menjadwalkan Sidang Pleno Pengucapan Putusan perkara Nomor 40/PUU-XXIII/2025 yang akan menentukan apakah masa jabatan keuchik akan bertahan di angka 6 tahun atau diperpanjang menjadi 8 tahun seperti kepala desa di daerah lain.

Sidang pamungkas ini akan digelar Kamis, 14 Agustus 2025 pukul 13.30 WIB di Ruang Sidang Pleno Lantai 2 Gedung MK, Jakarta. Panggilan resmi bernomor 583.40/PUU/PAN.MK/PS/08/2025 menegaskan kehadiran para pihak adalah wajib, baik langsung maupun daring.

Menariknya, salinan surat panggilan sidang tersebut sejak Senin (11/8) beredar luas di media sosial dan grup-grup WhatsApp para keuchik, aktivis, hingga masyarakat umum di Aceh. 

Gugatan ini lahir dari perlawanan lima keuchik: Venny Kurnia, Syukran, Sunandar, Badaruddin, dan Kadimin. Mereka menilai Pasal 115 ayat (3) UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh merugikan hak konstitusional mereka. Pasal itu membatasi masa jabatan keuchik hanya 6 tahun dan hanya boleh menjabat sekali lagi.

“UU Nomor 3 Tahun 2024 dan Putusan MK Nomor 92/PUU-XXII/2024 berlaku nasional, termasuk Aceh. Tapi realitanya, Pasal 115 ayat (3) UUPA jadi tembok penghalang,” tegas kuasa hukum pemohon, Febby Dewiyan Yayan, dalam sidang perdana, dikutip Bedahnews.com (1 Mei 2025).

Dalam sidang lanjutan 14 Mei 2025, MK tidak tinggal diam. Hakim Konstitusi Guntur Hamzah meminta pemohon memfokuskan gugatan pada norma hukum yang jelas, sementara Arsul Sani menuntut uraian detail pasal yang bertentangan dengan UUD 1945.
“Kalau mau diuji, uji pasalnya, jangan melebar,” tegas Guntur, dilaporkan Line1.News (29 Juni 2025).

Di sidang 30 Juni 2025, DPR RI melalui anggota Komisi III I Wayan Sudiarta menegaskan UUPA adalah lex specialis.

“UU Pemerintahan Aceh itu khusus. Dia mengesampingkan UU Desa yang berlaku umum,” ujarnya, dikutip Atjehwatch.com (30 Juni 2025).

Nada serupa datang dari Pemerintah. Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri, Akmal Malik, bahkan menyebut perbedaan masa jabatan bukan bentuk diskriminasi.
“Ini adalah penghormatan pada kekhususan Aceh yang dijamin konstitusi,” tegasnya dalam Metropolis.id (1 Juli 2025).

Sidang 10 Juli 2025 menghadirkan saksi lapangan. Yusran, keuchik Gampong Sukaramai, Aceh Tamiang, mengaku lelah dengan perbedaan perlakuan ini.
“Kami hanya ingin diperlakukan sama. Kalau kepala desa di daerah lain bisa 8 tahun, kenapa kami cuma 6 tahun?” ujarnya, dikutip Theacehpost.com (10 Juli 2025).

Inilah inti pertarungannya:

  • Pasal 115 ayat (3) UUPA: Keuchik 6 tahun, 1 kali periode lagi.
  • UU Desa Nomor 3 Tahun 2024 & Putusan MK 92/PUU-XXII/2024: Kepala desa 8 tahun, 1 kali periode lagi.

Para pemohon menilai perbedaan ini melanggar Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 (kesetaraan di hadapan hukum), Pasal 28D (perlindungan hukum), dan Pasal 28I (bebas diskriminasi).

Sementara itu, kubu penolak menegaskan Aceh punya hak istimewa yang lahir dari perjanjian damai Helsinki dan itu sah di mata konstitusi.

Apapun putusannya, dampaknya akan menggemparkan pemerintahan gampong di Aceh.
Jika MK mengabulkan, masa jabatan keuchik akan melonjak jadi 8 tahun, memberi stabilitas panjang di tingkat desa. Jika ditolak, Aceh akan tetap pada jalur 6 tahun sebuah tanda bahwa kekhususan lebih kuat dari keseragaman nasional.

“Putusan ini bukan sekadar soal angka tahun, tapi tentang arah otonomi khusus Aceh ke depan,”.(*) 

Editor : Syahrul Usman