BERITA TERKINI

Plang Larangan di Kebun Sawit Rakyat Picu Protes, Apkasindo Minta Mediasi

Warga Trumon, Aceh Selatan, memprotes pemasangan plang larangan garap di lahan sawit bersertifikat oleh Satgas PKH. (Waspada.id/Hendrik)
Warga Trumon, Aceh Selatan, memprotes pemasangan plang larangan garap di lahan sawit bersertifikat oleh Satgas PKH. (Waspada.id/Hendrik)

TAPAKTUAN | PASESATU.COM 
– Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Aceh Selatan meminta Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) untuk tidak menyasar kebun sawit milik rakyat dalam penertiban kawasan hutan di wilayah tersebut.

Ketua Apkasindo Aceh Selatan, Adi Darmawan, menegaskan pihaknya mendukung penataan kawasan hutan sesuai Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025. Namun, ia menolak keras jika kebun sawit rakyat yang sudah dikelola turun-temurun dan memiliki legalitas ikut menjadi sasaran.

“Kami mendukung penataan kawasan hutan, tapi jangan sampai kebun sawit rakyat yang sudah bersertifikat menjadi korban. Ini menyangkut mata pencaharian ribuan warga,” ujar Adi Darmawan seperti dikutip AJNN, Minggu (10/8/2025).

Menurut Adi, pemasangan plang larangan beraktivitas oleh Satgas PKH di sejumlah kebun sawit dilakukan tanpa sosialisasi. Hal ini, katanya, berpotensi memutus sumber penghidupan warga, menimbulkan keresahan, serta memicu konflik agraria.

“Tindakan seperti ini menimbulkan ketidakpastian hukum. Pemerintah daerah harus turun tangan memfasilitasi mediasi,” tambahnya.

Kepala Desa Keude Trumon, Safrizal, membenarkan adanya pemasangan plang larangan di kebun masyarakat. Ia menegaskan lahan tersebut adalah tanah bersertifikat yang dikelola warga sejak lama, bukan kawasan konservasi atau bagian dari Taman Nasional Rawa Singkil.

“Ini tanah rakyat, ada sertifikatnya. Kalau memang ada penertiban, seharusnya ada penjelasan resmi terlebih dahulu,” ujarnya kepada Waspada. 

Konteks Nasional Penertiban Kawasan Hutan

Satgas PKH dibentuk untuk menertibkan lahan yang diduga berada di dalam kawasan hutan, termasuk kebun sawit ilegal. Berdasarkan data pemerintah, target penertiban mencapai 1,18 juta hektare di seluruh Indonesia. Hingga pertengahan 2025, sekitar 1 juta hektare lahan telah berhasil diambil alih negara.

Namun, kebijakan ini menuai pro dan kontra. Walhi Aceh menilai penertiban harus memisahkan antara perkebunan perusahaan besar dan lahan rakyat yang sudah lama dikelola secara legal maupun adat.

“Jangan sampai pendekatan militeristik justru meminggirkan hak-hak masyarakat adat dan petani kecil,” kata Koordinator Walhi Aceh yang dikutip Mongabay, 1 Agustus 2025.

Permintaan Dialog dan Kebijakan Afirmatif

Apkasindo Aceh Selatan berharap pemerintah daerah, DPRK, dan instansi terkait memediasi persoalan ini untuk menghindari eskalasi konflik.

“Kami minta kebijakan afirmatif bagi petani kecil, terutama yang memiliki bukti legalitas lahan. Proses penertiban harus sesuai UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan menghormati UU Pokok Agraria,” tegas Adi Darmawan.

Pengamat agraria menilai kasus di Aceh Selatan menjadi contoh pentingnya verifikasi data sebelum tindakan penertiban dilakukan.

“Dialog di awal akan meminimalisir gesekan di lapangan,” ujar Direktur Eksekutif Sawit Watch, Achmad Surambo, kepada Antara, 28 Maret 2025.

Sumber: AJNN (10/8/2025), Waspada, Mongabay (1/8/2025), Antara (28/3/2025).

Editor : Syahrul Usman