Bang Jack: Damai Aceh Terancam Kehilangan Makna Jika Janji Ini Tak Dipenuhi!
Font Terkecil
Font Terbesar
![]() |
Juru Bicara KPA Pusat, Zakaria M. Yacob atau Bang Jack Libya, berbincang dengan tokoh perdamaian Aceh, Juha Christensen, di sela peringatan 20 tahun MoU Helsinki di Banda Aceh |
BANDA ACEH | PASESATU.COM – Juru Bicara Komite Peralihan Aceh (KPA) Pusat, Zakaria M. Yacob, yang akrab disapa Bang Jack Libya, menghadiri peringatan 20 tahun perdamaian Aceh yang diselenggarakan Badan Reintegrasi Aceh (BRA) di Hotel Hermes, Banda Aceh, Kamis (14/8/2025). Acara ini menjadi momentum refleksi bagi semua pihak yang terlibat dalam proses perdamaian, sekaligus pengingat akan mahalnya harga yang telah dibayar untuk mengakhiri konflik.
Mengulas kembali masa kelam konflik bersenjata yang berlangsung lebih dari tiga dekade, Bang Jack menegaskan bahwa perdamaian hasil Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki bukan sekadar bagian dari sejarah, melainkan amanah besar yang lahir dari darah, air mata, dan pengorbanan rakyat Aceh.
“Kita pernah merasakan gelapnya masa perang. Banyak nyawa melayang, banyak keluarga yang hancur. Damai ini adalah amanah rakyat, dan kita tidak boleh lengah. MoU Helsinki adalah janji yang harus diwujudkan sepenuhnya,” ujarnya penuh makna.
Ia menyoroti bahwa seluruh poin kesepakatan dalam MoU Helsinki harus direalisasikan secara menyeluruh. Menurutnya, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) telah menunaikan kewajibannya dengan melucuti senjata, sementara di pihak pemerintah pusat masih ada sejumlah komitmen yang belum tuntas.
Bang Jack juga mengajak komunitas nasional maupun internasional untuk turut membantu mewujudkan perdamaian berkelanjutan dan kesejahteraan di Aceh.
“Aceh butuh investasi dan citra positif, baik di tingkat nasional maupun internasional. Kami mengharapkan dukungan untuk mendatangkan investasi dan mengampanyekan Aceh sebagai daerah yang aman dan layak dikunjungi,” katanya.
Peringatan yang mengusung tema International Discussion and Commemoration: 20 Years of the Helsinki MoU – Successes and Challenges ini diwarnai suasana penuh emosi. Para peserta tidak hanya merayakan keberhasilan dua dekade perdamaian, tetapi juga membahas tantangan yang masih dihadapi, seperti kesenjangan kesejahteraan yang dirasakan mantan kombatan, korban konflik, dan masyarakat umum.
Tokoh penting turut hadir, di antaranya Minna Kukkonen Kalender dari Crisis Management Initiative (CMI), lembaga yang menjadi mediator perundingan damai di Helsinki. Kehadiran mereka menjadi bukti bahwa isu perdamaian Aceh masih mendapat perhatian dunia internasional.
Rangkaian diskusi dibagi menjadi dua sesi utama. Panel pertama, dimoderatori Dr. Sofyan A. Djalil, menghadirkan pembicara seperti mantan Kepala Misi Monitoring Aceh Peter Feith, Duta Besar Belanda, Duta Besar Uni Eropa untuk Asia, pendiri Asian Peace and Reconciliation Council Juha Christensen, Prof. Jacques Bertrand, Teuku Kamaruzzaman, dan Rektor Universitas Syiah Kuala.
Panel kedua, dipandu Dr. Fachry Aly, menghadirkan Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, akademisi Universitas Georgetown Dr. Scott Guggenheim, Alanna L. Simpson dari Bank Dunia, Tgk Amni Bin Ahmad Marzuki, Rektor UIN Ar-Raniry, serta Chalida Tajaroensuk dari People’s Empowerment Foundation Thailand.
Bang Jack menegaskan bahwa forum seperti ini harus menjadi ruang evaluasi yang transparan dan menyeluruh, agar poin-poin MoU yang tertunda dapat segera diselesaikan.
“Dua puluh tahun adalah waktu yang panjang. Jangan sampai ada butir yang terabaikan. Aceh tidak boleh dibiarkan berjalan sendiri tanpa dukungan penuh pemerintah pusat,” tegasnya.
Ia menutup pernyataannya dengan menyerukan kolaborasi semua pihak—mulai dari masyarakat, partai politik lokal, lembaga negara, hingga komunitas internasional—untuk terus mengawal implementasi MoU Helsinki.
“Damai ini harus menghadirkan keadilan dan kesejahteraan yang merata. Tanpa itu, semangat yang kita jaga selama dua dekade akan kehilangan maknanya,” pungkasnya.(*)