OPINI | Etika Digadaikan, Harga Diri Dijual: Realitas Buruk di Balik Perburuan Gift Live di Media Sosial
![]() |
Foto: Dok. Shutterstock |
ACEH | PASESATU.COM— Era media sosial telah menciptakan ruang baru bagi ekspresi, eksistensi, dan bahkan ekonomi. Namun, dalam kebebasan yang tanpa batas itu, nilai-nilai moral, etika, dan harga diri tampaknya kian memudar. Kita menyaksikan fenomena di mana individu, termasuk dari kalangan perempuan dan remaja, dengan mudah menggadaikan etika bahkan menjual harga dirinya demi "gift live"—hadiah virtual yang dapat diuangkan dari penonton dalam siaran langsung.
Apakah yang sebenarnya
sedang terjadi? Bagaimana platform seperti TikTok, Bigo Live, dan lainnya
mendorong orang untuk memproduksi konten live streaming demi imbalan
materi? Apakah ini bentuk baru dari eksploitasi? Ataukah masyarakat telah
kehilangan arah dalam menilai martabat?
Tulisan ini mencoba
mengurai dengan jernih sisi gelap budaya "live demi gift"
dalam bingkai etika, moral sosial, dan tanggung jawab digital, yang semakin
relevan di tengah kehidupan daring yang melaju tanpa rem. Khususnya di Aceh,
yang merupakan daerah penerapan Syariat Islam, fenomena ini menimbulkan
keprihatinan ganda karena berpotensi merusak sendi-sendi nilai agama dan adat
yang telah lama tegak.
Realitas Baru, Ketika Martabat Ditukar dengan Gift Virtual
Gift live di media sosial bukan lagi fenomena pinggiran.
Dari desa hingga kota, dari rumah sederhana hingga kamar pribadi, ribuan siaran
langsung setiap harinya menampilkan individu menari, berjoget, atau berbicara
dalam format yang terkadang vulgar, semata demi mendapatkan “mawar”, “jet
pribadi”, atau “singa emas” virtual. Gift ini, jika dikumpulkan dalam
jumlah besar, bisa diuangkan menjadi rupiah.
Sebuah studi dari Digital
Civility Index (2024) yang dilakukan Microsoft menunjukkan bahwa tingkat
kesopanan digital di Indonesia menurun 12 poin dibanding tahun sebelumnya.
Salah satu penyumbang terbesar penurunan ini adalah maraknya konten yang
mengumbar sensualitas dan memperjualbelikan atensi.
“Ini adalah bentuk objektifikasi digital yang dilakukan secara sukarela namun dengan tekanan ekonomi dan eksistensi sosial,” kata Dr. Rika Andayani, pakar komunikasi digital dari Universitas Indonesia, dalam seminar nasional tentang etika media sosial tahun 2024 lalu.
Live Demi Gift, Siapa yang Salah?
Perdebatan kemudian
muncul, apakah individu yang tampil sensual dalam live streaming
sepenuhnya bisa disalahkan? Ataukah platform yang menyediakan sistem monetisasi
ini turut bertanggung jawab?
Di satu sisi, individu
memiliki hak atas tubuh dan kontennya. Namun di sisi lain, norma sosial, budaya
lokal, serta prinsip tanggung jawab sosial tidak bisa diabaikan. Ketika konten
melibatkan remaja, bahkan anak-anak, dalam aktivitas live yang tidak
layak, maka ini bukan hanya soal etika, tapi juga pelanggaran hukum.
Kominfo mencatat peningkatan laporan konten negatif sebesar 47% pada semester pertama 2025 dibanding tahun sebelumnya. Sebagian besar berasal dari platform live streaming.
Penggadaian Etika, Saat Norma Disingkirkan Demi Viewer
Etika bukan lagi sekadar
kumpulan nilai, melainkan pemandu dalam setiap tindakan manusia, termasuk di
dunia digital. Ketika seseorang rela berjoget sensual, berpakaian minim, bahkan
melakukan tindakan cabul secara terselubung di depan kamera, hanya demi menerima
gift dari pengguna lain, itu adalah bentuk penggadaian etika.
Di sejumlah kasus, kita
menyaksikan bagaimana para remaja ditantang untuk melakukan sesuatu yang lebih
ekstrem demi mendapatkan gift lebih besar. Tantangan ini bahkan
disampaikan oleh penonton yang menjadi “sponsor” dari tindakan tak pantas
tersebut.
Fenomena ini menunjukkan bagaimana tekanan ekonomi dan keinginan untuk viral telah membutakan batas antara ekspresi diri dan eksploitasi diri.
Harga Diri dalam Krisis, Ketika Martabat Dijadikan Komoditas
Harga diri adalah
kesadaran manusia tentang kehormatan, martabat, dan nilai dirinya. Namun dalam
ruang digital yang dikendalikan oleh algoritma, banyak individu justru menilai
dirinya berdasarkan jumlah penonton dan banyaknya gift yang diterima.
“Kami ingin konten yang lebih menggoda, baru kami kasih gift,” ujar salah satu akun pengguna dalam sesi live yang viral beberapa waktu lalu. Kalimat ini bukan hanya memperlihatkan budaya konsumen konten yang bermasalah, tetapi juga memperlihatkan bagaimana harga diri dijadikan barang tawar-menawar.
Korban Sistem atau Pelaku Kesadaran?
Ada yang mengatakan bahwa
para streamer adalah korban dari sistem yang didesain untuk monetisasi
atensi. Namun, dalam praktiknya, banyak pelaku sadar bahwa tindakan mereka
menyalahi norma. Beberapa bahkan menuliskan peringatan seperti “18+ only” atau
“jangan lapor ya” dalam deskripsi konten mereka. Artinya, ada kesadaran yang
ditutupi oleh keinginan untuk cuan instan.
Psikolog sosial Dr. Fitriani Yusuf menyatakan bahwa fenomena ini berkaitan dengan lemahnya nilai religius dan pengawasan keluarga. “Banyak remaja dan dewasa muda yang merasa kesepian, tidak dihargai, dan menemukan validasi diri lewat perhatian penonton online,” ujarnya.
Peran Orang Tua, Pendidikan, dan Masyarakat
Solusi tidak bisa hanya
dilakukan oleh pemerintah atau platform. Keluarga, sekolah, dan komunitas harus
kembali menanamkan nilai-nilai tentang harga diri, etika, dan tanggung jawab
digital.
Sekolah harus mulai mengajarkan literasi digital sebagai mata pelajaran wajib, sementara orang tua perlu lebih peka dan aktif dalam mengawasi aktivitas daring anak-anak mereka. Ini bukan soal membatasi kreativitas, tapi tentang menjaga martabat anak-anak kita agar tidak dijadikan tontonan.
Platform Harus Bertanggung Jawab
Tidak adil jika kita hanya menyalahkan individu. Platform live streaming yang memfasilitasi sistem gift juga harus diberi tekanan hukum dan sosial untuk melakukan verifikasi umur, menyensor konten yang melanggar norma, serta menyediakan ruang edukasi digital bagi penggunanya.
Kembali pada Etika dan Martabat
Fenomena menggadaikan
etika dan menjual harga diri demi gift live di media sosial adalah
refleksi dari krisis nilai yang melanda masyarakat digital. Dalam dunia yang
terhubung 24 jam sehari, kita dihadapkan pada pilihan-pilihan etis yang
kompleks. Tapi satu hal yang pasti, nilai manusia tidak boleh dikurangi menjadi
sekadar item virtual.
Jika kita ingin masa depan generasi muda tetap utuh secara moral dan spiritual, maka kita harus bersama-sama mengangkat kembali kesadaran akan etika dan harga diri. Media sosial boleh menjadi tempat ekspresi, tapi bukan tempat melelang martabat.
Referensi dan
Narasumber:
- Digital Civility Index 2024 – Microsoft, https://news.microsoft.com
- Kominfo RI, Statistik Konten Negatif 2025.
- Seminar Nasional Etika Digital – UI, 2024.
- Kominfo RI, Data Laporan Konten Negatif 2025.
- Wawancara dengan Dr. Fitriani Yusuf, Psikolog Sosial, melalui kanal YouTube “Etika Digital Kita”, Maret 2025.