OPINI | Dari Meunasah ke Live Streaming: Pergeseran Paradigma Sosial
Font Terkecil
Font Terbesar
![]() |
Ilustrasi |
ACEH | PASESATU.COM - Aceh dikenal sebagai Serambi Mekkah, saat ini menghadapi tantangan besar dari derasnya arus digitalisasi. Di tengah gelombang kemajuan teknologi, fenomena live streaming berbasis gift virtual telah merambah hingga ke kamar-kamar remaja Aceh. Platform seperti TikTok, Bigo, dan aplikasi live lainnya menjadi ruang baru bagi ekspresi, namun juga menjadi tempat di mana etika, harga diri, dan nilai-nilai Syariat dipertaruhkan demi “mawar”, “porsche”, atau “singa emas” virtual yang dapat diuangkan.
Fenomena ini bukan hanya persoalan gaya hidup. Ia mencerminkan pergeseran budaya yang mendasar. Ketika remaja, termasuk perempuan dan bahkan anak-anak, menari dengan sensual, bersolek berlebihan, dan tampil menggoda di ruang publik digital, maka sesungguhnya masyarakat Aceh sedang berhadapan dengan krisis identitas dan peluruhan nilai.
Dulu, nilai moral dan adab ditanamkan melalui pengajian rutin di meunasah dan surau. Hari ini, generasi muda lebih banyak menghabiskan waktu di ruang digital, membaca komentar dan mengejar gift dari penonton anonim. Peralihan ini menggambarkan pergeseran otoritas moral: dari ulama dan tokoh adat, menuju algoritma dan tren global.
Kamar pribadi berubah menjadi panggung global. Live streaming membuka ruang keterhubungan tanpa batas, tapi juga tanpa sensor. Di sinilah persoalan besar muncul: ketika yang ditampilkan adalah sensualitas, bukan kreativitas; ketika yang dicari adalah validasi instan, bukan nilai diri.
Gift Live dan Fenomena “Meugat Ureung”: Wajah Baru ‘Jual Diri’ Digital
Dalam tradisi Aceh, istilah meugat ureung mengacu pada tindakan menjatuhkan martabat diri demi keuntungan sesaat. Fenomena live streaming yang menampilkan aurat atau tarian erotis demi gift adalah bentuk modern dari itu. Ironisnya, tindakan ini sering tidak disadari sebagai pelanggaran, karena dibungkus oleh narasi hiburan dan monetisasi.
Perempuan yang tampil sensual di layar kini bukan lagi dikucilkan, melainkan dirayakan oleh algoritma. Ini memperlihatkan perubahan paradigma dalam memaknai kesuksesan dan eksistensi. Padahal, dalam Syariat Islam, kehormatan dan rasa malu (haya’) adalah nilai yang tak ternilai harganya.
Rapuhnya Budaya Malu dan Melemahnya Kontrol Sosial
Aceh memiliki tradisi kuat dalam kontrol sosial berbasis komunitas. Peu haba (penyebaran kabar secara cepat) dan norma adat telah lama menjadi benteng moral. Namun, di era digital, sistem itu tak lagi efektif. Aksi-aksi yang melanggar adab kini tersembunyi di balik akun palsu dan tayangan daring yang tidak bisa dikendalikan secara lokal.
Budaya malu yang dulunya menjadi pagar moral, perlahan terkikis. Perilaku yang dulu dianggap aib, kini dianggap biasa, bahkan dijadikan ajang pamer keberhasilan karena menghasilkan uang. Ini menandai keretakan serius dalam bangunan nilai masyarakat Aceh.
Hukum Syariat dan UU ITE, Mengapa Tak Efektif?
Aceh memiliki Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, yang secara tegas melarang tindakan pornografi dan perilaku yang bertentangan dengan norma kesusilaan. Namun, implementasi hukum terhadap konten live streaming vulgar masih lemah.
Menurut Tgk. Ramli Hasan, staf Dinas Syariat Islam Aceh, “Wilayatul Hisbah belum memiliki sistem pemantauan siber yang terintegrasi dan real-time. Ini membuat pelanggaran Syariat yang dilakukan lewat siaran live jarang terpantau dan lebih sulit ditindak.”
UU ITE pun belum menjadi solusi yang efektif. Pasal 27 Ayat (1) UU ITE menyebut bahwa distribusi konten melanggar kesusilaan dapat dipidana hingga enam tahun penjara. Tetapi penindakan hanya terjadi ketika kasus viral atau dilaporkan secara massal. Seringkali, pelaku sudah menghilang sebelum proses hukum berjalan.
Kasus Nyata: Di Antara Hukum dan Realitas
- Aceh Timur (2024): Seorang remaja perempuan ditangkap setelah melakukan siaran live dengan pakaian minim dan gestur sensual. Karena masih di bawah umur dan tidak ditemukan unsur paksaan, ia hanya dibina di dayah.
- Lhokseumawe (2023): Dua perempuan pembuat konten live ditangkap di sebuah kos. Namun, tanpa laporan dari publik atau pemilik platform, proses hukum tak bisa berlanjut.
Kedua kasus tersebut menunjukkan bahwa sistem hukum yang ada belum cukup responsif dan masih bertumpu pada pelaporan, bukan pemantauan aktif.
Antara Syariat dan Algoritma, Simpang Jalan Generasi Muda Aceh
Remaja Aceh kini berada di persimpangan: antara peu adat, peu agama, peu pat tamita (tahu adat, tahu agama, tahu malu), dan dunia digital yang menawarkan popularitas serta uang secara instan. Ketika Syariat bertabrakan dengan algoritma, tanpa pendampingan dan pemahaman yang kuat, maka yang akan menang adalah yang paling cepat memberi imbalan, platform, bukan pesantren.
Peran Strategis Geuchik, Teungku, dan Imum Mukim
Tiga elemen utama dalam masyarakat Aceh, geuchik, teungku, dan imum mukim, harus aktif mengedukasi generasi muda. Ini bukan hanya soal hukum, tapi soal narasi. Masyarakat butuh dikembalikan pada kebanggaan terhadap nilai-nilai Syariat, bukan hanya ketakutan pada hukuman.
Program kolaboratif seperti tim pemantau media sosial di Aceh Besar, yang berbasis dayah dan pemuda masjid, layak ditiru. Edukasi melalui khutbah, ceramah publik, dan diskusi interaktif sangat penting untuk merespons tantangan digital dengan cara yang membumi dan relevan.
Strategi Reformasi Penegakan Hukum Syariat di Era Digital
- Unit Siber Wilayatul Hisbah: WH harus membentuk tim IT yang memantau aktivitas daring 24 jam.
- Sosialisasi Literasi Hukum Digital: Materi Qanun dan UU ITE harus diajarkan di sekolah dan dayah.
- Sinergi Antar Lembaga: Perlu kolaborasi antara DSI, Kominfo, dan aparat penegak hukum.
- Sistem Pelaporan Masyarakat: Aplikasi pelaporan konten vulgar yang mudah, cepat, dan anonim.
- Penguatan Peran Ulama dan Adat: Ulama sebagai panutan harus aktif mengisi ruang digital.
Refleksi, Kita Sedang Kehilangan Arah
Fenomena jual diri digital bukan sekadar tontonan, melainkan sinyal serius bahwa kita sedang kehilangan arah. Ketika harga diri dinilai dari banyaknya gift virtual, maka sesungguhnya yang dipertaruhkan adalah jati diri umat.
Aceh perlu menjawab badai digital ini bukan dengan larangan semata, tetapi dengan narasi alternatif yang kuat: bahwa kehormatan, marwah, dan iman tidak bisa dibeli oleh algoritma. Kita harus membangun dunia digital yang Islami, bukan memisahkan Islam dari dunia digital.
Antara Relevansi dan Identitas
Aceh tidak bisa menutup mata terhadap kemajuan teknologi. Namun, teknologi harus dikuasai, bukan ditaklukkan. Saatnya masyarakat Aceh menyatukan potensi adat, agama, dan teknologi untuk menciptakan ruang digital yang bermartabat. Kita harus berdiri bukan hanya sebagai pengguna teknologi, tetapi sebagai penjaga nilai.
Sumber Referensi:
- Khutbah Jumat Tgk. Muzakir Yahya, Aceh Utara, April 2025.
- Seminar Etika Media Sosial, Universitas Syiah Kuala, 2024.
- Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat Aceh.
- Observasi lapangan dan testimoni warga Aceh Besar dan Aceh Timur, Juni 2025.
- UU No. 11 Tahun 2008 dan UU No. 19 Tahun 2016 tentang ITE.