Kenapa Banyak Sekolah Tapi Sedikit Murid? Ini Jawabannya!
Foto: Siswa mengikuti Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) 2025 Sekolah Dasar Islam Terpadu SDIT Baitussalam, Bogor, Jawa Barat, Senin, (14/7/2025). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
JAKARTA | PASESATU.COM – Indonesia menghadapi tantangan demografi serius: jumlah anak usia dini yang stagnan bahkan menurun, meskipun infrastruktur pendidikan dasar terus berkembang.
Menurut laporan CNBC Indonesia (24 Juli 2025), Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa populasi anak usia 0-4 tahun sempat menyentuh angka 23,7 juta pada 2018. Namun dalam lima tahun terakhir, pertumbuhan kelompok usia tersebut cenderung stagnan di sekitar 22 juta, bahkan sempat anjlok selama periode 2020–2021 akibat pandemi dan tekanan ekonomi. Pada 2025, jumlahnya sedikit naik menjadi 22,7 juta, namun jauh di bawah laju pertumbuhan dekade sebelumnya.
Sementara itu, jumlah siswa sekolah dasar juga menunjukkan penurunan signifikan. Jika pada tahun 2016 tercatat sekitar 25,6 juta murid SD, maka pada 2024 hanya tersisa 23,9 juta. Ironisnya, jumlah sekolah dasar justru bertambah dari 61.566 unit pada 2003 menjadi 72.470 unit pada 2024.
Fenomena ini dipicu oleh berbagai faktor, salah satunya adalah penurunan tingkat fertilitas nasional, terutama di wilayah perkotaan. Di DKI Jakarta, misalnya, angka kelahiran total (Total Fertility Rate/TFR) hanya mencapai 1,75—terendah di Indonesia dan di bawah ambang batas pengganti generasi yang ideal, yakni 2,1.
Kondisi ini dipengaruhi oleh meningkatnya biaya hidup, urbanisasi, pendidikan perempuan yang lebih tinggi, serta akses terhadap alat kontrasepsi yang semakin luas. Banyak pasangan muda memilih menunda memiliki anak atau bahkan memutuskan untuk memiliki keluarga kecil.
Dari sisi ekonomi, membesarkan seorang anak di kota besar kini diperkirakan membutuhkan biaya antara Rp700 juta hingga Rp1,3 miliar hingga anak tersebut dewasa. Beban tersebut ditambah kekhawatiran terhadap situasi ekonomi yang tidak menentu, kenaikan harga barang pokok, hingga ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK), turut memperkuat keputusan pasangan untuk tidak menambah jumlah anak.
Menurunnya jumlah murid sekolah dasar tentu membawa implikasi pada efisiensi pendidikan. Banyak ruang kelas berpotensi kosong, distribusi guru menjadi tidak seimbang, dan anggaran pendidikan bisa jadi kurang efektif. Namun demikian, kondisi ini juga bisa membuka peluang peningkatan kualitas pendidikan karena rasio guru terhadap murid menjadi lebih kecil.
Lebih jauh lagi, mengecilnya jumlah generasi Z dan Alpha akan berdampak pada struktur tenaga kerja di masa depan. Dengan makin sedikit anak muda saat ini, dalam dua dekade mendatang Indonesia akan menghadapi penyusutan angkatan kerja, yang berpotensi mempercepat krisis penuaan penduduk, membebani sistem pensiun nasional, dan menurunkan produktivitas ekonomi secara keseluruhan.
Namun di sisi lain, krisis ini juga dapat menjadi momentum strategis untuk meningkatkan mutu pendidikan, mempersempit kesenjangan akses antarwilayah, dan mengoptimalkan distribusi sekolah.(*)
Sumber: Artikel asli berjudul “RI Darurat Bocil! Sekolah Makin Sunyi, Anak-anak Kian Langka” oleh Emanuella Bungasmara & Ega Tirta, dipublikasikan CNBC Indonesia, 24 Juli 2025. Tautan: https://www.cnbcindonesia.com/research/20250724134609-128-651917/