OPINI: CSR Perusahaan Sawit, Antara Tanggung Jawab Sosial dan Kepentingan Korporasi
Font Terkecil
Font Terbesar
Oleh: Redaksi PASESATU.COM
Ketika hamparan kebun kelapa sawit menguasai lebih dari 16 juta hektare lahan di Indonesia (BPS, 2023), pertanyaan mendasar terus menggema dari pelosok desa ke ruang-ruang akademik, sejauh mana perusahaan sawit bertanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan tempat mereka beroperasi?
Indonesia adalah produsen sawit terbesar di dunia, menyumbang 59% dari pasokan minyak sawit global (USDA, 2023). Namun di balik angka fantastis itu, sektor ini juga menyisakan luka, deforestasi, konflik agraria, ketimpangan ekonomi, dan peminggiran masyarakat adat. Dalam pusaran inilah, peran tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR) menjadi sorotan tajam.
Apa Itu CSR?
CSR adalah komitmen perusahaan untuk beroperasi dengan cara yang berkelanjutan dan bertanggung jawab secara sosial. Ini mencakup berbagai inisiatif yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, melindungi lingkungan, dan memastikan bahwa kegiatan bisnis dilakukan dengan etika yang tinggi.
Mengapa CSR Penting dalam Industri Kelapa Sawit?
- Meningkatkan Reputasi Perusahaan Perusahaan yang aktif dalam program CSR cenderung memiliki reputasi yang lebih baik di mata publik. Dengan menunjukkan komitmen terhadap kesejahteraan masyarakat dan lingkungan, perusahaan kelapa sawit dapat membangun citra positif dan mendapatkan kepercayaan dari konsumen serta pemangku kepentingan lainnya.
- Mengurangi Dampak Lingkungan Industri kelapa sawit sering kali dikaitkan dengan deforestasi dan kerusakan lingkungan. Melalui program CSR, perusahaan dapat mengambil langkah-langkah proaktif untuk mengurangi dampak negatif ini. Misalnya, dengan menerapkan praktik pertanian berkelanjutan dan rehabilitasi lahan yang terdegradasi.
- Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Program CSR yang berfokus pada pengembangan masyarakat dapat memberikan manfaat nyata bagi komunitas lokal. Perusahaan kelapa sawit dapat mendukung pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan ekonomi masyarakat sekitar melalui berbagai inisiatif seperti beasiswa, pelatihan keterampilan, dan pembangunan infrastruktur.
- Mematuhi Regulasi dan Standar Internasional Banyak negara dan organisasi internasional menetapkan standar dan regulasi yang mengharuskan perusahaan untuk melaksanakan praktik bisnis yang bertanggung jawab. Dengan menjalankan program CSR, perusahaan kelapa sawit dapat memastikan bahwa mereka mematuhi semua regulasi yang relevan, menghindari sanksi, dan meningkatkan keberlanjutan operasi mereka.
- Meningkatkan Keterlibatan Karyawan Karyawan yang bekerja untuk perusahaan yang peduli terhadap CSR cenderung merasa lebih bangga dan termotivasi. Ini dapat meningkatkan produktivitas dan loyalitas karyawan, serta menciptakan lingkungan kerja yang lebih positif
CSR: Bukan Sukarela, Tapi Kewajiban
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Pasal 74 ayat (1), menyatakan bahwa perusahaan yang berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Artinya, CSR adalah kewajiban hukum, bukan sekadar pilihan moral.
Namun dalam praktiknya, CSR kerap menjadi ajang pencitraan semata. Hal ini diperkuat oleh temuan Koalisi Anti Mafia Sawit dalam laporan “Peta Jalan Reformasi Sawit” (2022) yang menyebutkan bahwa dari 100 perusahaan sawit besar yang diteliti, hanya 28% yang memiliki laporan CSR terbuka dan bisa diakses publik. Sisanya tidak menyampaikan transparansi dana, tujuan program, maupun indikator keberhasilan.
“Program CSR yang dilakukan banyak perusahaan sawit lebih mirip 'amal korporat', bukan pendekatan pembangunan partisipatif,” ujar Ahmad Dermawan, peneliti CIFOR, dalam Forest Policy and Economics (2020).
Studi Kasus: Aceh Timur dan Ketimpangan CSR
Di Aceh Timur, kabupaten dengan luas kebun sawit lebih dari 200.000 hektare (BPS Aceh Timur, 2023), sebagian besar perusahaan belum memiliki skema CSR yang terencana dan akuntabel. Kepala Dinas Lingkungan Hidup Aceh Timur, Sufyan, dalam wawancaranya dengan Serambi Indonesia (10 Maret 2024) mengakui bahwa hanya tiga perusahaan yang rutin melaporkan program CSR mereka.
“Masih banyak perusahaan yang tidak berkoordinasi dengan pemerintah daerah. CSR dijalankan sepihak, tanpa sinkronisasi dengan RPJMD atau musyawarah desa,” ujarnya.
Padahal, Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-05/MBU/2007 dan SE-14/MBU/2021 sudah mengatur pentingnya sinergi CSR dengan rencana pembangunan daerah agar berdampak sistemik dan tidak tumpang tindih.
Kerusakan Ekologis dan Ilusi CSR
Selain soal sosial, kritik keras juga muncul dari isu lingkungan. Greenpeace dalam laporan “License to Clear” (2022) mencatat lebih dari 3,1 juta hektare hutan alam Indonesia hilang di area konsesi sawit antara 2001–2019. Ironisnya, banyak dari perusahaan tersebut mengklaim menjalankan CSR lingkungan.
“Kami melihat CSR digunakan untuk greenwashing, bukan pemulihan lingkungan,” ujar Arie Rompas, Juru Kampanye Hutan Greenpeace, dalam wawancara dengan BBC Indonesia (17 April 2022). Ia mencontohkan perusahaan sawit di Papua yang menanam pohon mahoni sebagai proyek CSR, tapi di saat bersamaan membabat hutan adat seluas 30.000 hektare.
CSR yang Berbasis Partisipasi: Contoh Baik yang Langka
Dalam laporan Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat (LPEM UI, 2021), perusahaan ini melakukan pemetaan sosial secara inklusif, membentuk forum multi-pihak, dan mendanai pelatihan pertanian organik yang diusulkan warga. Akibatnya, tingkat kepercayaan masyarakat meningkat dan konflik sosial menurun.
Pendekatan ini sesuai dengan konsep Creating Shared Value (CSV) yang dikembangkan oleh Porter dan Kramer (Harvard Business Review, 2011), yakni menciptakan nilai bersama antara perusahaan dan masyarakat melalui strategi bisnis berkelanjutan.
Peran Pemerintah Daerah dan Kebutuhan Regulasi
Sayangnya, tidak semua daerah memiliki regulasi tentang CSR. Padahal, Perda CSR dapat menjadi alat pengikat agar perusahaan tidak beroperasi semaunya.
Kabupaten Musi Banyuasin (Sumsel), misalnya, telah memiliki Perda No. 4 Tahun 2019 tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan. Melalui Forum TJSLP, semua perusahaan wajib melaporkan dan menyelaraskan program CSR dengan RPJMD. Skema ini menghasilkan sinergi lintas sektor dan menghindari tumpang tindih program.
Direktur Eksekutif INFID, Sugeng Bahagijo, dalam Kompas (3 Oktober 2023), menyebutkan bahwa “Perda CSR sangat penting untuk mencegah praktik CSR semu. Tapi regulasi saja tidak cukup, harus ada pengawasan partisipatif dari masyarakat.”
CSR dan Desa: Harus Masuk ke RPJMDes
CSR juga harus dikaitkan dengan dokumen perencanaan desa seperti RPJMDes (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa). Ini penting agar program CSR benar-benar sesuai kebutuhan dan tidak sebatas seremonial.
Kementerian Desa PDTT telah menerbitkan Permendesa No. 7 Tahun 2021 yang mendorong sinkronisasi CSR dengan prioritas pembangunan desa. Namun, banyak kepala desa mengaku tidak dilibatkan oleh perusahaan.
“Perusahaan datang sendiri, kasih bantuan sendiri, foto sendiri. Habis itu tidak ada lagi komunikasi,” ujar Ridwan, Kepala Desa Sanggamara, Kutai Kartanegara, kepada Tempo (17 Januari 2024).
Rekomendasi: 5 Langkah Pembenahan CSR Sawit
- Transparansi Laporan: Perusahaan wajib mempublikasikan anggaran dan laporan pelaksanaan CSR setiap tahun melalui media atau website resmi.
- Forum Multi-Stakeholder: Pemerintah daerah harus memfasilitasi forum CSR yang melibatkan tokoh adat, akademisi, dan LSM lokal.
- Audit Sosial: CSR harus diaudit tidak hanya dari sisi keuangan, tetapi juga manfaat sosialnya.
- Regulasi Daerah: Setiap kabupaten penghasil sawit wajib memiliki Perda CSR.
- Sanksi Tegas: Perusahaan yang abai terhadap CSR perlu diberi sanksi administratif dan evaluasi izin.
Keadilan Sosial Tidak Bisa Ditebar Sekali Setahun
Jika CSR terus dijalankan sebagai formalitas tahunan tanpa substansi, maka ketimpangan di sekitar konsesi sawit hanya akan semakin menganga. CSR harus dilihat sebagai bagian dari strategi pembangunan inklusif, bukan alat relasi publik.
Ketika masyarakat diberdayakan, dilibatkan, dan dihormati dalam proses pengambilan keputusan, maka hubungan antara perusahaan dan warga bisa berjalan setara. Jika tidak, maka konflik, gugatan hukum, dan tekanan sosial akan menjadi bagian tak terelakkan dari industri sawit kita.
Sudah saatnya kita menagih kembali makna tanggung jawab sosial dari para pemilik modal. Karena keadilan sosial bukan sekadar slogan, melainkan hak yang dijamin konstitusi.
DAFTAR SUMBER
- BPS Indonesia, Statistik Perkebunan Kelapa Sawit 2023
- Koalisi Anti Mafia Sawit, “Peta Jalan Reformasi Sawit”, 2022
- CIFOR, “Corporate Social Responsibility and Forest Governance”, Forest Policy and Economics, 2020
- LPEM UI, “Model CSR Partisipatif dalam Industri Sawit”, 2021
- Greenpeace Indonesia, “License to Clear”, 2022
- USDA Foreign Agricultural Service, Oilseeds: World Markets and Trade, 2023
- Tempo.co, “Konflik Masyarakat dan Perusahaan Sawit Kian Meluas”, 22 Januari 2023
- Mongabay.co.id, “CSR Sawit: Sekadar Seremonial?”, 12 November 2022
- Serambi Indonesia, “DLHK Akui Minim Laporan CSR Sawit”, 10 Maret 2024
- Harvard Business Review, Porter & Kramer, “Creating Shared Value”, 2011
- Kompas.com, “Perda CSR untuk Keadilan Sosial”, 3 Oktober 2023
- Permendesa PDTT No. 7 Tahun 2021
- jogjatamatricita.co.id/pelatihan-csr-kelapa-sawit/(*)