BERITA TERKINI

Rakyat Melawan, Konflik Agraria di Aceh Utara Membara


ACEH UTARA | PASESATU.COM
– Suara kemarahan rakyat kembali menggema di Aceh Utara. Ratusan warga dari Kecamatan Cot Girek dan Pirak Timu bangkit melawan, menutup jalan dengan tubuh mereka, menghadang truk-truk sawit milik PTPN IV Regional 6 Cot Girek.

Sejak Sabtu (27/9/2025), mereka mendirikan tenda darurat di Simpang Pucoek Reunteh dan Simpang Pondok Kates. Dua titik ini menjadi benteng perlawanan rakyat, yang hingga Senin (29/9/2025) terus dijaga siang dan malam. 

Tidak ada yang bisa keluar masuk. Jalanan menjadi saksi bisu perlawanan warga terhadap klaim sepihak perusahaan yang dianggap telah merampas tanah mereka.

Muhammad Isa, warga Gampong Alue Rimei, bersuara lantang mewakili penderitaan masyarakat.

 “Aksi ini simbol perlawanan. Sebelum sengketa ini selesai, sebelum ada pengukuran ulang lahan HGU, kami tidak akan mundur. Kami akan tetap bertahan di posko dan melawan,” tegasnya, seperti dikutip dari buana.news

Masyarakat menuding ada kejanggalan besar dalam penguasaan lahan. Luas HGU yang awalnya 7.500 hektare, kini diduga membengkak hingga 15.000 hektare. Bagi warga, lonjakan itu bukan sekadar angka, melainkan sumber derita, konflik, dan kehilangan tanah warisan leluhur.

 “Sampai tanah kami diukur ulang, truk sawit tidak akan lewat. Kami menuntut pemerintah Aceh Utara turun tangan segera. Kalau dibiarkan, konflik ini akan terbuka terus dan tidak bisa dihindari,” ujar Isa dengan nada penuh perlawanan.

Hari pertama aksi sempat diwarnai ketegangan. Perusahaan mengutus staf lapangan menemui massa. Namun, langkah itu justru dianggap melecehkan.

“Mereka mengutus orang yang tidak punya kewenangan. Masyarakat merasa dipermainkan. Maka mereka langsung diusir dari lokasi,” kata Isa lagi.

Hingga berita ini diturunkan, PTPN IV Regional 6 Cot Girek bungkam. Tak ada pernyataan resmi, tak ada solusi yang ditawarkan.

Kini, jalanan di Cot Girek bukan lagi sekadar jalur angkutan sawit. Ia telah berubah menjadi panggung perlawanan rakyat kecil melawan kekuasaan korporasi. Konflik ini bukan hanya soal hektare tanah, melainkan soal harga diri dan hak hidup.

Tanpa keberanian pemerintah untuk menuntaskan persoalan ini, bara konflik agraria di Aceh Utara akan terus menyala, berpotensi membesar menjadi krisis sosial yang tak terelakkan.(*)