BERITA TERKINI

Ketika Aceh Digantungkan pada Satu Urat Nadi Listrik

H. Sudirman (H. Uma) Angkat Bicara Soal Krisis Kelistrikan


LHOKSEUMAWE | PASESATU.COM
– Setiap kali Aceh dilanda gelap gulita, masyarakat selalu mendapat jawaban klise dari PLN: “gangguan transmisi 150 kV Bireuen–Arun.” Seolah-olah persoalan selesai dengan satu kalimat pendek. Tidak ada penjelasan detail, tidak ada keterbukaan informasi, apalagi pertanggungjawaban yang jelas. Kegelapan dianggap hal biasa, dan rakyat diminta menerima nasib.

Padahal, jalur interkoneksi Bireuen–Arun bukan sekadar kabel baja yang terbentang di udara. Ia adalah urat nadi utama sistem kelistrikan Aceh Utara, Lhokseumawe, hingga sebagian wilayah Sumatera. Bila urat nadi itu terputus, maka denyut kehidupan juga lumpuh: rumah sakit kehilangan daya, industri terhenti, sekolah tak bisa beraktivitas, dan rumah tangga kembali ke zaman pelita.

Masalah mendasar sistem kelistrikan Aceh terletak pada ketergantungan berlebihan pada satu jalur transmisi. Wilayah dengan populasi jutaan jiwa hanya disandarkan pada satu interkoneksi rapuh tanpa cadangan jalur yang memadai. Sebuah kesalahan desain yang seharusnya tidak terjadi di era modern.

“Ini persoalan serius. PLN dan pemerintah tidak boleh terus-menerus menjadikan rakyat Aceh sebagai korban gangguan yang sama setiap tahun. Kita seolah dipaksa menerima alasan klasik tanpa solusi permanen,” tegas H. Sudirman atau H. Uma, anggota DPD RI asal Aceh, saat dimintai tanggapan, Selasa (30/9/2025).

Menurut H. Uma, kegagalan terbesar adalah tidak adanya upaya serius membangun pembangkit listrik lokal yang kuat. Aceh, dengan potensi energi melimpah dari panas bumi, gas alam, hingga hidro justru tetap menggantungkan harapan pada jaringan interkoneksi yang mudah terganggu.

“Aceh ini kaya energi. Tapi aneh, listriknya miskin. Kita punya gas, kita punya potensi panas bumi, tapi tidak ada roadmap jelas untuk menjadikannya solusi bagi kebutuhan rakyat. PLN harus menjawab, kenapa Aceh selalu bergantung pada satu jalur rapuh itu?” tanya H. Uma.

Ia menilai, kerapuhan sistem kelistrikan bukan sekadar urusan teknis, melainkan juga cermin lemahnya perencanaan dan komitmen pemerintah daerah maupun pusat. Selama ini, setiap pemadaman besar hanya berujung pada konferensi pers singkat tanpa akuntabilitas. Tidak ada audit terbuka, tidak ada penjelasan menyeluruh kepada publik, padahal listrik adalah kebutuhan dasar yang dijamin konstitusi.

“Listrik itu bukan sekadar lampu di malam hari. Ini menyangkut layanan rumah sakit, dunia pendidikan, aktivitas ekonomi rakyat kecil. Jika PLN gagal menjaga stabilitas listrik, maka negara gagal memenuhi hak dasar warganya,” lanjutnya.

H. Uma juga menekankan bahwa transparansi harus menjadi kunci. PLN tidak bisa terus menutup-nutupi kondisi riil jaringan listrik Aceh. Masyarakat berhak tahu seberapa besar risiko pemadaman, apa penyebab sesungguhnya, dan langkah apa yang sudah ditempuh untuk mencegah pengulangan.

Selain itu, ia mendesak pemerintah Aceh tidak sekadar berdiam diri. Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota memiliki peran strategis dalam mendorong investasi energi baru terbarukan maupun optimalisasi sumber daya alam setempat. Tanpa dukungan politik daerah, PLN akan terus berjalan dengan pola lama yang hanya mengandalkan interkoneksi.

“Kalau jalur Bireuen–Arun dianggap urat nadi, maka kita harus punya cadangan urat nadi lain. Tidak boleh hanya satu. Sistem cadangan ganda itu wajib. Kalau tidak, Aceh akan terus digantungkan pada kabel tipis yang bisa putus kapan saja,” tegas H. Uma.

Kritik keras ini juga mencerminkan kegelisahan masyarakat. Dalam beberapa tahun terakhir, Aceh kerap mengalami pemadaman meluas yang melumpuhkan kehidupan sosial dan ekonomi. Namun, hingga kini belum ada solusi permanen.

Opini publik mulai bergeser: rakyat merasa diperlakukan tidak adil. Aceh, yang menyumbangkan energi dan sumber daya besar bagi Indonesia, justru masih harus pasrah ketika listrik padam berkali-kali.

H. Uma mengingatkan, jika kondisi ini dibiarkan, akan lahir ketidakpercayaan publik terhadap institusi negara. Karena itu, langkah nyata harus segera dilakukan: membangun pembangkit lokal berbasis potensi energi Aceh, memperkuat jaringan cadangan, serta membuka seluruh data sistem kelistrikan secara transparan.

“Aceh tidak boleh terus-menerus menjadi penonton yang dipaksa gelap. Kita harus berdiri di atas kaki sendiri. Jangan biarkan urat nadi listrik berubah menjadi jerat yang mencekik rakyat,” pungkasnya.

Pada akhirnya, listrik bukan sekadar persoalan teknis. Ia adalah denyut kehidupan, hak dasar, dan bukti keseriusan negara dalam melayani rakyatnya.(*) 

Editor : Syahrul Usman