Indonesia–Jepang Perkuat Perdagangan Karbon Lewat MRA SPEI–JCM
JAKARTA | PASESATU.COM - Pemerintah Indonesia kembali menegaskan komitmennya untuk memperkuat kerja sama internasional dalam upaya menekan emisi gas rumah kaca (GRK). Komitmen tersebut diwujudkan melalui penerapan Mutual Recognition Agreement (MRA) antara Sertifikat Pengurangan Emisi Indonesia (SPEI) dengan Joint Crediting Mechanism (JCM) milik Pemerintah Jepang.
Pertemuan lanjutan terkait implementasi MRA ini dipimpin langsung oleh Menteri Lingkungan Hidup sekaligus Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH), Hanif Faisol Nurrofiq. Kegiatan tersebut menghadirkan lebih dari 60 pengusul proyek JCM yang selama lebih dari sepuluh tahun telah berkontribusi nyata dalam pengurangan emisi di tanah air, pada Kamis 18 September 2025.
“MRA SPEI–JCM menjadi langkah penting dalam mengoperasionalkan perdagangan karbon di bawah kerangka Artikel 6 Persetujuan Paris,” ujar Hanif. Ia menegaskan, Indonesia bertekad menghasilkan kredit karbon berstandar tinggi yang diakui secara global, namun tetap menjaga kedaulatan nasional.
Deputi Bidang Pengendalian Perubahan Iklim dan Tata Kelola Nilai Ekonomi Karbon KLH/BPLH, Ary Sudijanto, menambahkan bahwa MRA merupakan instrumen penting untuk memperkuat pasar karbon domestik. “Melalui MRA, kepercayaan terhadap hasil akreditasi dapat ditingkatkan, volume perdagangan diperbesar, kerja sama internasional lebih mudah dilakukan, dan hambatan pasar bisa diminimalkan,” jelasnya.
Menurut Ary, MRA juga berfungsi sebagai dasar otorisasi perdagangan karbon lintas negara, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri LHK Nomor 21 Tahun 2022. Salah satu implementasinya adalah melalui kerja sama SPEI–JCM dengan Jepang.
Kerja sama ini merupakan tindak lanjut dari penandatanganan perjanjian bilateral Indonesia–Jepang pada Oktober 2024, sekaligus selaras dengan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK). Regulasi tersebut mengatur mekanisme perdagangan karbon, pembayaran berbasis kinerja, hingga pungutan karbon di Indonesia.
Sejalan dengan aturan tersebut, Menteri Lingkungan Hidup memiliki kewenangan melakukan pengakuan bersama (mutual recognition) dalam penerbitan sertifikat pengurangan emisi untuk kebutuhan perdagangan internasional.
Perdagangan karbon sendiri menjadi salah satu instrumen utama NEK dalam memenuhi target Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia, serta mendukung komitmen global untuk menahan kenaikan suhu bumi di bawah 1,5°C sebagaimana tercantum dalam Persetujuan Paris.
Selain Jepang, Indonesia juga telah meneken kerja sama dengan Norwegian Article 6 Climate Action Fund (NACA) senilai 12 juta ton CO₂eq untuk periode 2026–2035. Kesepakatan serupa tengah dijajaki bersama Inggris, Swedia, Denmark, dan Finlandia, termasuk kolaborasi dengan lembaga internasional seperti Gold Standard, Plan Vivo, Global Carbon Council (GCC), Verra, hingga Puroearth.
Lebih jauh, pemerintah melihat perdagangan karbon bukan sekadar alat lingkungan, tetapi juga motor penggerak transisi ekonomi. Dana yang diperoleh akan diarahkan pada investasi teknologi rendah karbon, pengembangan energi terbarukan, serta mendorong pertumbuhan berkelanjutan.
Dengan memperluas kerja sama internasional, Indonesia berharap sektor swasta dan para pemangku kepentingan non-pemerintah dapat berpartisipasi lebih aktif, sekaligus mempercepat pencapaian target penurunan emisi GRK.
“Langkah strategis melalui MRA SPEI–JCM mempertegas peran Indonesia sebagai salah satu pemain utama dalam pasar karbon global,” tutur Hanif. “Mari bersama-sama membangun pasar karbon yang kredibel dan berintegritas sebagai wujud nyata kontribusi Indonesia bagi bumi.”