BERITA TERKINI

Aceh Perkusi 2025: Rapai Pase Bergema dari Samudera Pasai, Menghidupkan Identitas Budaya Aceh


ACEH UTARA | PASESATU.COM
– Gampong Beringen, Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara, menjadi saksi kemeriahan Aceh Perkusi 2025, sebuah perhelatan budaya yang menghidupkan kembali denyut sejarah dan identitas Aceh melalui lantunan rapai, rukon, dan daboh.

Gelaran yang dipusatkan di kawasan Monumen Samudera Pasai itu tidak hanya menjadi ajang hiburan, melainkan juga ruang edukasi bagi generasi muda. Para pelajar SMP hingga SMA diajak mengenal, mempelajari, dan mencintai kembali seni tradisi Aceh yang telah diwariskan turun-temurun.

Rapai sebagai Simbol Persatuan

Dalam sambutannya, maestro rapai asal Samudera Pasai, Syeh Fauzan Abdullah, menekankan pentingnya menjaga warisan leluhur sebagai bagian dari jati diri bangsa Aceh.

“Rapai bukan sekadar alat musik, tapi simbol komunikasi, pemersatu, bahkan pernah menjadi suara perjuangan bangsa Aceh. Mari kita memohon perlindungan Allah, semoga generasi kita sehat pikiran, kuat iman, dan terus menjaga budaya ini sampai akhir zaman,” ujar Syeh Fauzan dengan suara bergetar penuh haru.

Jejak Sejarah Rapai Pase

Sejarah rapai di Aceh diyakini telah berakar sejak masa awal penyebaran Islam. Instrumen ini disebut-sebut dibawa oleh para ulama dari Timur Tengah, termasuk pengaruh spiritual Syeh Abdul Qadir Jailani. Bahkan, istilah rapai diyakini memiliki keterkaitan dengan ajaran tarekat Syeh Rifa’i, yang memiliki hubungan erat dengan kerajaan Samudera Pasai.

Sejak era kejayaan kerajaan, rapai berfungsi lebih dari sekadar musik. Ia menjadi sarana dakwah, media komunikasi masyarakat, hingga perekat sosial. Dalam beberapa catatan sejarah, rapai kerap dibawa bersama mushaf Al-Qur’an, menjadikannya simbol penyebaran Islam dan identitas peradaban Aceh.

Harapan untuk Generasi Muda

Panitia Aceh Perkusi 2025 menyebut kegiatan ini sebagai bentuk “deklarasi kebudayaan” bahwa Aceh tidak akan pernah berhenti melestarikan rapai. Pesan utamanya jelas: generasi muda tidak boleh kehilangan identitas budayanya.

Dua tokoh budaya Aceh, Nasaruddin ZA dan Petua Din, turut menegaskan pentingnya regenerasi.

“Anak-anak SMA hari ini harus tahu rapai, bukan hanya sekadar menonton, tapi juga memainkannya. Rapai adalah bagian dari jiwa orang Aceh,” tegas mereka.

Dari Syair ke Doa

Puncak acara ditandai dengan lantunan syair rapai yang menggema di kawasan monumen bersejarah itu. Suara rapai berpadu dengan zikir dan takbir, menciptakan suasana religius dan khidmat.

Rapai, yang dulu menjadi pengiring dakwah dan perjuangan, kembali dihidupkan bukan semata sebagai seni pertunjukan, melainkan juga doa serta pengingat bahwa Aceh pernah berdiri sebagai pusat peradaban Islam di Asia Tenggara.(*) 

Editor : Syahrul Usman