BERITA TERKINI

Dukung Ketua DPRA, Cek Bay: Suara Pisah dari Pusat Adalah Jeritan Hati Rakyat Aceh yang Kecewa MoU Helsinki Tak Kunjung Tuntas



ACEH UTARA | PASESATU.COM
– Suasana politik Aceh kembali bergejolak. Pernyataan Ketua DPR Aceh, Zulfadli alias Abang Samalanga, yang mengungkapkan wacana pisah dari pusat ternyata mendapat dukungan penuh dari Komandan Kompi GAM Daerah IV Tgk Chik Di Tunong, Wilayah Samudera Pase, Nasrizal atau akrab disapa Cek Bay.

Dengan nada tegas, Cek Bay menyebut ucapan Ketua DPRA itu bukanlah hal memalukan atau sekadar luapan emosi, melainkan cerminan kekecewaan mendalam rakyat Aceh atas lambannya implementasi butir-butir MoU Helsinki.

“Itu bukan pernyataan radikal. Itu adalah suara hati rakyat Aceh dan para anggota GAM yang sudah lebih dari 20 tahun menjaga perdamaian. Tapi sampai hari ini, pemerintah pusat masih tidak sungguh-sungguh menepati janji-janji damai Helsinki,” ujar Cek Bay dengan nada getir, Minggu (7/9/2025).

Ia menegaskan, masyarakat Aceh sudah terlalu lama menahan sabar. Banyak janji yang tertulis dalam MoU Helsinki maupun Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) tidak pernah direalisasikan sepenuhnya.

Mulai dari soal pengelolaan sumber daya alam, perhatian terhadap nasib anggota GAM, pemulihan hak korban konflik, hingga masa depan generasi muda Aceh yang kerap merasa terpinggirkan.

“Jangan anggap enteng pernyataan Ketua DPRA. Itu teguran keras dan peringatan. Jika terus diabaikan, kepercayaan rakyat terhadap pemerintah pusat bisa runtuh, dan itu jauh lebih berbahaya bagi stabilitas nasional,” tegasnya.

Tak hanya itu, Cek Bay juga menyesalkan sikap Ketua PETA, T. Sukardi, yang justru mendesak Ketua Umum Partai Aceh, Muzakir Manaf (Mualem), untuk mencopot Zulfadli dari jabatannya. Baginya, langkah itu hanya memperkeruh keadaan.

“Kalau memang cinta perdamaian, jangan sibuk menyerang pribadi Ketua DPRA. Desaklah pemerintah pusat supaya segera menepati MoU. Jangan demi sensasi justru melemahkan suara rakyat sendiri,” sindir Cek Bay.

Ia menegaskan, MoU Helsinki bukan sekadar perjanjian berhenti perang, tetapi juga kontrak moral untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang adil, transparan, dan demokratis di Aceh.

“Yang memalukan itu bukan ucapan Ketua DPRA. Yang benar-benar memalukan adalah ketika rakyat Aceh merasakan janji-janji perdamaian hanya tinggal kertas tanpa makna,” ucapnya penuh emosi.

Cek Bay mengingatkan, stabilitas Aceh tidak boleh ditafsirkan sebagai hilangnya kritik. Demokrasi yang lahir dari perdamaian harus tetap membuka ruang bagi suara berbeda, termasuk dari pucuk pimpinan legislatif.

Ia menutup pernyataannya dengan peringatan keras: pekerjaan rumah perdamaian Aceh masih menumpuk. Pengadilan HAM, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), hingga pengelolaan SDA yang berpihak pada rakyat, semua itu belum dituntaskan.

“Jangan salahkan rakyat jika suara kekecewaan berubah menjadi tuntutan yang lebih keras. Jalan damai harus dirawat, dan itu hanya mungkin jika butir-butir MoU Helsinki benar-benar dijalankan,” pungkasnya. (*)