BERITA TERKINI

Toke Dun Desak Pemerintah Pusat Kembalikan Empat Pulau ke Aceh: "Ini Bukan Soal Peta, Ini Soal Harga Diri!"

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Utara, Zulkifli atau yang akrab disapa Toke Dun
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Utara, Zulkifli atau yang akrab disapa Toke Dun (Baju Putih) bersama rekan-rekannya sedang menikmati keindahan alam. Foto Dok Ist

ACEH UTARA | PASESATU.COM – Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Utara, Zulkifli atau yang akrab disapa Toke Dun, mendesak pemerintah pusat agar segera mengembalikan empat pulau yang secara administratif telah dipindahkan dari Provinsi Aceh ke Sumatera Utara. Keempat pulau tersebut adalah Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek, yang sebelumnya berada dalam wilayah Kabupaten Aceh Singkil.

Pulau-pulau tersebut dikenal dengan keindahan alamnya yang memesona. Pasir putih bersih, air laut yang jernih, serta terumbu karang yang masih alami menjadikan kawasan ini destinasi favorit para pelancong, termasuk wisatawan mancanegara.

“Saya ke sana bukan hanya sebagai legislator, tapi juga sebagai wisatawan. Pulau Panjang sangat ramai dikunjungi wisatawan asing. Potensinya luar biasa,” ujar Toke Dun dalam keterangannya pada Jumat, 13 Juni 2025.

Namun di balik keelokan alam tersebut, Toke Dun menilai terdapat persoalan serius terkait keadilan administratif. Ia menyebut pemindahan keempat pulau itu ke wilayah Sumatera Utara sebagai bentuk ketidakadilan yang merugikan rakyat Aceh.

“Ini bukan hanya soal peta, tapi soal harga diri dan hak masyarakat Aceh. Pemerintah pusat seharusnya hadir untuk melindungi, bukan malah mengabaikan fakta-fakta yang ada,” tegasnya.

Menurutnya, tidak ada tanda-tanda di lapangan yang menunjukkan bahwa pulau-pulau itu merupakan bagian dari Sumatera Utara. Justru, seluruh aktivitas pariwisata dan pengelolaan wilayah selama ini dijalankan oleh masyarakat Aceh Singkil.

“Fakta di lapangan sangat jelas. Warga lokal dari Aceh Singkil yang menjadi pemandu wisata, dan semua aktivitas ekonomi serta pengelolaan berasal dari Aceh. Bahkan dokumen administratif dan pelayanan publik juga dikelola oleh Pemerintah Aceh,” ungkapnya.

Toke Dun mengemukakan tujuh poin penting yang menjadi dasar klaim Aceh terhadap keempat pulau tersebut:

  1. Jejak Pengelolaan Pemerintah Aceh
    Infrastruktur pelayanan publik dan aktivitas pemerintahan dari Aceh telah lama hadir dan aktif di pulau-pulau tersebut.

  2. Tidak Ada Aktivitas Sumut
    Tidak ditemukan indikasi atau bukti aktivitas administratif dari Provinsi Sumatera Utara di wilayah tersebut selama ini.

  3. Fakta Hukum Agraria
    Dokumen pertanahan sejak tahun 1965 menunjukkan bahwa tanah-tanah di keempat pulau itu tercatat atas nama warga Aceh.

  4. Peta Wilayah Resmi Tahun 1978
    Dalam peta resmi pemerintah tahun 1978, keempat pulau tersebut masih termasuk dalam batas wilayah Aceh.

  5. Identitas Budaya Aceh yang Masih Terjaga
    Tradisi, bahasa, dan budaya masyarakat setempat mencerminkan kekhasan Aceh, bukan budaya Sumatera Utara.

  6. Potensi Strategis yang Signifikan
    Dari sisi kelautan, ekonomi, hingga pertahanan wilayah, keempat pulau ini memiliki posisi strategis yang penting bagi Aceh.

  7. Referensi Hukum dan Peta Internasional
    Dalam beberapa dokumen dan peta internasional, keempat pulau tersebut tercatat sebagai bagian dari wilayah Aceh.

Toke Dun mengkritik langkah pemerintah pusat yang dianggapnya tidak berdasarkan kajian yang utuh dan berpotensi menimbulkan konflik kewilayahan.

“Kami tidak anti pembangunan, tapi jangan abaikan sejarah dan fakta. Pemerintah harus bijak, karena ini menyangkut hak rakyat dan potensi besar yang dimiliki Aceh,” ucapnya.

Ia juga meminta pemerintah pusat agar segera mencabut keputusan administratif yang mengalihkan status wilayah keempat pulau tersebut ke Sumatera Utara.

“Kami mendesak agar pemerintah pusat mengembalikan keempat pulau itu ke Provinsi Aceh secara resmi. Ini adalah bentuk keadilan sekaligus penghormatan terhadap identitas dan sejarah Aceh,” pungkasnya.(*) 

Editor: Syahrul Usman