Haji Uma dan Tgk Ahmada Wakili Provinsi Aceh, Serahkan Laporan Reses di Sidang Paripurna DPD RI
Font Terkecil
Font Terbesar
JAKARTA | PASESATU.COM — Dalam Sidang Paripurna ke-14 DPD RI Masa Sidang V Tahun Sidang 2024–2025 yang digelar tanggal 24/6/2025 di Jakarta, empat anggota DPD RI dari Provinsi Aceh menyerahkan laporan hasil kegiatan reses yang berlangsung pada 23 Mei hingga 23 Juni 2025.
Mereka adalah H. Sudirman (Haji Uma), Tgk. Ahmada, Azhari Cage, dan Darwati A. Gani. Laporan tersebut merupakan bentuk pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugas konstitusional dalam menyerap, menghimpun, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat di daerah pemilihan.
Haji Uma, yang duduk di Komite I DPD RI, menjadi salah satu pembicara utama dalam sidang tersebut. Dalam laporannya, ia secara tajam menyoroti sejumlah persoalan yang berakar pada disharmoni regulasi antara Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) dengan beberapa kebijakan nasional, khususnya Undang-Undang Cipta Kerja dan Undang-Undang Minerba.
Menurutnya, ketentuan-ketentuan baru tersebut telah berdampak pada pengurangan kewenangan Pemerintah Aceh, terutama dalam aspek perizinan usaha dan pengelolaan sumber daya alam yang sebelumnya berada dalam otoritas daerah.
Dalam pemaparannya, Haji Uma menyampaikan, "Aceh adalah daerah dengan kekhususan yang telah dijamin oleh hukum dan perjanjian internasional melalui MoU Helsinki. Namun dalam praktiknya, banyak kebijakan pusat justru mempersempit ruang gerak pemerintah daerah, sehingga mengaburkan prinsip-prinsip desentralisasi dan otonomi khusus. Ini adalah tantangan serius yang memerlukan upaya harmonisasi regulasi secara menyeluruh."
Ia menambahkan bahwa pelaksanaan pemerintahan di Aceh menghadapi berbagai tantangan struktural, mulai dari keterbatasan sarana pendukung, minimnya anggaran penguatan kelembagaan, ketimpangan kompetensi ASN, hingga belum terintegrasinya sistem data sektoral di daerah dengan sistem nasional.
Akibatnya, pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan berjalan tidak optimal dan kurang responsif terhadap kebutuhan lokal. Di sisi lain, digitalisasi layanan melalui OSS juga belum ditopang dengan infrastruktur dan kapasitas yang memadai, terutama di kabupaten/kota.
Terkait pelayanan publik, Haji Uma juga menyoroti belum optimalnya implementasi Mall Pelayanan Publik (MPP) di berbagai daerah di Aceh. Salah satu contoh yang disebutkan adalah MPP Kota Lhokseumawe yang masih menghadapi keterbatasan anggaran dan SDM serta belum menghadirkan seluruh layanan publik yang terintegrasi. Ia menilai bahwa semangat reformasi pelayanan publik tidak akan tercapai tanpa dukungan kebijakan yang kuat dan komitmen anggaran dari pemerintah daerah.
Dalam hal kepegawaian, Haji Uma mengangkat isu seleksi PPPK yang dinilai belum memberikan keadilan bagi tenaga honorer yang telah lama mengabdi. Ia menyampaikan, "Banyak dari mereka yang telah puluhan tahun mengabdi justru gagal dalam seleksi, sementara yang baru masuk justru lolos karena sistem afirmasi yang tidak mempertimbangkan masa kerja. Ini menjadi keresahan yang besar dan perlu ditinjau secara serius oleh pemerintah pusat."
Menanggapi kondisi layanan dasar, ia juga menyampaikan bahwa banyak wilayah terpencil di Aceh masih kekurangan tenaga kesehatan, terutama dokter dan tenaga ahli. Di sisi lain, meskipun pemenuhan formasi PPPK guru di Aceh cukup tinggi, namun tidak diiringi dengan pemerataan tenaga kesehatan. Ia menekankan bahwa afirmasi kebijakan harus diarahkan kepada sektor-sektor yang paling terdampak secara langsung oleh ketimpangan geografis dan sosial.
Sementara itu, Tgk. Ahmada, yang mewakili Aceh di Komite II DPD RI, menyoroti persoalan lingkungan hidup dan pengelolaan kawasan pemukiman, khususnya terkait aktivitas pertambangan ilegal yang terjadi di Kabupaten Aceh Selatan. Ia menyampaikan bahwa masyarakat Gampong Simpang Tiga di Kecamatan Kluet Tengah telah menyatakan penolakan terhadap aktivitas tambang ilegal yang mencemari aliran sungai dan mengancam keberlangsungan pertanian.
Dalam laporannya, Tgk. Ahmada menegaskan pentingnya tindakan tegas dari pemerintah daerah dan aparat penegak hukum untuk menghentikan aktivitas tambang yang merusak lingkungan. Ia mendorong adanya penguatan pengawasan, pelatihan masyarakat terkait hukum lingkungan, serta bantuan nyata dari pemerintah dalam program pemulihan lahan dan penyediaan sumber air bersih bagi petani terdampak. Ia menyatakan bahwa pembangunan tidak boleh mengorbankan keselamatan ekosistem dan mata pencaharian masyarakat.
Anggota DPD RI Azhari Cage, yang berada di Komite III DPD RI, turut menyampaikan perhatian serius terhadap masih tingginya disparitas mutu pendidikan di Aceh. Dalam laporannya, ia mengungkap bahwa kesenjangan kualitas antara sekolah negeri dan swasta, antara madrasah dan sekolah umum, masih sangat mencolok. Ia juga menyoroti ketidaktransparanan dalam sistem penerimaan murid baru, di mana praktik "titip-menitip" dan pungutan liar masih ditemukan di sejumlah daerah.
Azhari Cage mendorong agar pemerintah pusat dan daerah mempercepat pembahasan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang baru, dengan penekanan pada pemerataan kualitas pendidikan di luar Jawa dan wilayah terpencil. Ia juga menekankan pentingnya peningkatan kompetensi guru dan dosen, serta perlindungan terhadap kesejahteraan tenaga pendidik di seluruh tingkatan.
Sementara itu, Darwati A. Gani, anggota DPD RI dari Komite IV, mengangkat kembali pentingnya memperkuat sinkronisasi kewenangan antara pusat dan daerah dalam pelaksanaan UU Pemerintahan Daerah, dengan memperhatikan kekhususan Aceh. Ia menyampaikan bahwa tarik menarik kewenangan yang terjadi belakangan ini telah menimbulkan kebingungan di lapangan dan melemahkan daya saing daerah.
Dalam laporannya, Darwati juga menyoroti pentingnya data yang terintegrasi dan valid dalam pelaksanaan program pembangunan di Aceh. Ia mencatat bahwa banyak daerah di Aceh belum memiliki database spasial yang memadai untuk mendukung tata kelola sumber daya alam, mitigasi bencana, dan perizinan. Ia mendorong agar pemerintah pusat memberikan dukungan penuh dalam penyediaan teknologi dan pelatihan teknis bagi OPD di tingkat daerah.
Keempat senator Aceh tersebut menutup laporan mereka dengan harapan agar seluruh hasil reses dapat menjadi perhatian serius lembaga negara, dan ditindaklanjuti dalam bentuk kebijakan nyata yang berpihak kepada kepentingan masyarakat di daerah. Mereka juga mengajak seluruh elemen negara untuk menjaga dan memperkuat kekhususan Aceh dalam bingkai keadilan, kesejahteraan, dan kesetaraan antarwilayah.
Sidang paripurna tersebut menjadi forum penting dalam memperkuat fungsi representasi daerah oleh DPD RI, sekaligus memperlihatkan bahwa suara masyarakat di ujung barat Indonesia tetap memiliki ruang untuk diperjuangkan secara bermartabat di tingkat nasional.(*)