BERITA TERKINI

World Press Freedom Day 2025, Antara Ancaman Digital dan Harapan Baru untuk Jurnalisme

Ilustrasi world press internasional
Ilustrasi
Oleh : Syahrul Usman

Hari ini, 3 Mei, dunia kembali memperingati Hari Kebebasan Pers Internasional, sebuah tonggak penting yang tidak hanya menyoroti pentingnya media bebas dan independen, tetapi juga mengajak semua elemen masyarakat untuk merenungkan ulang posisi jurnalisme dalam dinamika global yang terus berubah, khususnya di era teknologi yang kian disruptif.

Tiga dekade lalu, peringatan ini lahir dari kesadaran kolektif para jurnalis Afrika yang menghadapi represi dan kekerasan di tengah konflik politik yang mendera benua tersebut. Mereka berkumpul di Windhoek, Namibia, pada tahun 1991 dan merumuskan Deklarasi Windhoek, sebuah dokumen perlawanan damai yang menyerukan hak untuk menyampaikan informasi secara bebas, tanpa takut disensor atau dibungkam.

Deklarasi ini menjadi fondasi bagi UNESCO untuk kemudian menetapkan tanggal 3 Mei sebagai Hari Kebebasan Pers Sedunia pada tahun 1993. Sejak saat itu, dunia menjadikan hari ini sebagai momen untuk mengkaji kondisi kebebasan pers, mengenang jurnalis yang kehilangan nyawa, serta mengangkat isu-isu penting yang dihadapi media.

Di tahun 2025, peringatan ini mengangkat tema yang sangat relevan, “Pelaporan di Dunia Baru yang Berani – Dampak Kecerdasan Buatan terhadap Kebebasan Pers dan Media.”

Tema ini menjadi alarm bagi dunia media bahwa kecerdasan buatan (AI) tidak lagi hanya menjadi alat bantu teknis, melainkan entitas yang dapat memengaruhi cara jurnalisme bekerja, baik dari sisi konten, distribusi, maupun kontrol informasi.

Beberapa ancaman konkret yang kini mulai muncul antara lain:

  1. Produksi konten otomatis tanpa verifikasi editorial.
  2. Penyebaran hoaks visual melalui teknologi deepfake.
  3. Sensorship algoritma oleh platform digital yang tidak transparan.
  4. Ketergerusan identitas dan suara manusia dalam narasi media.

Ironisnya, teknologi yang semula diharapkan memperkuat kualitas informasi, justru berpotensi menjadi alat pengaburan fakta jika tidak dikendalikan dengan etika dan tanggung jawab yang kuat.

Di tengah kemajuan ini, jurnalisme justru dituntut kembali pada tugas lamanya: mencari kebenaran, menyampaikan yang benar, dan berpihak pada kepentingan publik. Hanya saja, sekarang medan juangnya lebih kompleks.

Berikut ini adalah beberapa perkembangan penting dunia pers yang perlu dipahami oleh publik:

1. Digitalisasi Tak Hanya Soal Format

Transformasi digital telah mengubah wajah media secara radikal. Tapi lebih dari sekadar berpindah ke layar gawai, perubahan ini menuntut jurnalis untuk menguasai teknologi multimedia, memahami algoritma distribusi konten, serta menavigasi kecepatan informasi yang ekstrem.

2. Krisis Kepercayaan dan Polarisasi

Di era banjir informasi, masyarakat makin sulit membedakan mana berita yang valid dan mana yang manipulatif. Ini memunculkan tantangan bagi media, bagaimana mempertahankan kepercayaan di tengah polarisasi opini yang ekstrem?

3. Data dan Investigasi Berbasis Bukti

Jurnalisme berbasis data (data journalism) semakin berkembang. Melalui analisis statistik, visualisasi, dan pelacakan sumber terbuka, jurnalis kini bisa membongkar skandal dan kebijakan yang selama ini tersembunyi di balik angka.

4. Keselamatan Jurnalis Bukan Sekadar Fisik

Ancaman terhadap jurnalis kini tidak hanya datang dalam bentuk kekerasan fisik. Serangan digital, doxing, intimidasi siber, hingga peretasan menjadi musuh baru bagi mereka yang menyuarakan kebenaran.

5. Etika Tak Boleh Terkikis oleh Klik dan Viralitas

Tekanan trafik dan algoritma media sosial memaksa sebagian media untuk mengejar sensasionalisme. Namun di sinilah peran penting kode etik jurnalistik, menjadi pagar moral agar jurnalisme tetap bertanggung jawab dan beradab.

Di Indonesia, kebebasan pers dijamin oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. UU ini secara eksplisit menegaskan kemerdekaan pers sebagai bagian dari hak asasi manusia. Namun, dalam praktiknya, masih sering terjadi kriminalisasi terhadap jurnalis menggunakan pasal-pasal karet di luar UU Pers.

Mekanisme penyelesaian sengketa pers melalui Dewan Pers pun kerap diabaikan oleh penegak hukum. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman terhadap UU Pers masih belum merata, baik di tingkat aparat maupun masyarakat umum.

Oleh karena itu, penting bagi insan pers untuk terus mendorong literasi hukum media, serta memperkuat solidaritas antarjurnalis dan organisasi pers dalam menjaga marwah kebebasan informasi.

Hari Kebebasan Pers Internasional bukanlah perayaan semata, melainkan pengingat bahwa kebebasan berbicara dan mengakses informasi adalah hak dasar yang harus dijaga bersama. Jurnalisme boleh berubah bentuk, namun misinya tetap sama, mencerahkan publik dan menjaga demokrasi.

Kita tidak bisa menolak teknologi, termasuk AI. Tapi kita bisa memastikan bahwa teknologi tidak menggantikan peran nurani dan akal sehat manusia dalam menyampaikan kebenaran. Sebab pada akhirnya, kebebasan pers bukan hanya soal hak jurnalis, tetapi hak setiap warga untuk tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Kebebasan pers adalah oksigen demokrasi. Tanpa udara yang bersih, suara publik akan tercekik.(*) 

ADVERTISEMENT
no