BERITA TERKINI

Empat Batalyon Baru TNI di Aceh: Bom Waktu yang Mengancam Perdamaian



ACEH UTARA | PASESATU.COM - Langkah pemerintah pusat yang merencanakan pembangunan empat batalyon TNI baru di Aceh menuai gelombang kecaman keras dari berbagai elemen masyarakat. Wacana ini dianggap sebagai pengkhianatan terang-terangan terhadap MoU Helsinki perjanjian damai bersejarah yang menjadi fondasi perdamaian antara Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Suara lantang datang dari, Cek Bay eks Kombatan GAM, selaku Ulèe Kompi Sagoe Kulam Meudelat, yang mengecam keras rencana tersebut. Ia menyebut pembangunan batalyon itu sebagai langkah provokatif yang bisa memicu kembali bara konflik yang selama ini telah berhasil diredam.

“Pembangunan empat batalyon ini jelas bertentangan dengan semangat damai yang telah dibangun bersama. Jangan rusak kembali kepercayaan masyarakat Aceh,” tegasnya, Kamis (1/5/2025).

Menurut Cek Bay, pembangunan empat batalyon tersebut adalah pelanggaran nyata terhadap Pasal 4.7 dan 4.11 MoU Helsinki, yang secara eksplisit menyebutkan bahwa, Jumlah maksimum personel militer organik di Aceh adalah 14.700 tentara dan 9.100 polisi. Hanya militer organik yang boleh bertugas untuk pertahanan eksternal dalam situasi damai.

Dengan tambahan empat batalyon yang bisa berisi lebih dari 5.000 personel tambahan, hal ini dinilai sebagai pelanggaran kuantitatif dan kualitatif terhadap perjanjian damai yang sah secara hukum internasional dan diakui oleh Pemerintah Indonesia.

Lebih dari itu, kritik tajam juga diarahkan kepada akademisi dan alumni Lemhanas, Herman Fithra, yang mendukung wacana ini dengan alasan wawasan kebangsaan dan ketahanan pangan.

"Masalah ketahanan pangan tidak bisa diselesaikan dengan mendirikan empat batalyon. Solusi yang tepat adalah memastikan anggaran ketahanan pangan tersedia dan tepat sasaran. Jangan jadikan alasan yang tidak berdasar dan tidak logis, karena hal itu justru dapat menegangkan situasi dan merusak asas perdamaian yang telah dibangun," tegas Cek Bay.

Dikatakan Cek Bay dalam bahasa Aceh, Nyoe na pèng masalah swasembada pangan nyan selesai, Bek neujak meuratoeh tapi hana neutuoh pue yang ka neupeugah, bek gara-gara droë neuh reuloh pue yang ka selama nyoë tabangun bersama. 

MoU Helsinki merupakan hasil dari negosiasi panjang antara Pemerintah RI dan GAM, ditandatangani pada 15 Agustus 2005. Perjanjian ini bersifat binding dan telah diintegrasikan ke dalam peraturan nasional melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dalam UU ini, Aceh diberikan kewenangan khusus, termasuk dalam hal pengelolaan keamanan daerah yang harus selaras dengan semangat perdamaian,Jelas Cek Bay. 

Dalam konteks ini Dikatakan Cek Bay, Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) memiliki tanggung jawab konstitusional dan moral untuk menjaga serta mengawal pelaksanaan MoU Helsinki. Mereka wajib menolak segala bentuk infiltrasi kekuasaan yang dapat merusak struktur damai yang telah dibangun selama hampir dua dekade.

Cek Bay mendesak pemerintah Aceh dan DPRA menolak rencana pembangunan 4 batalyon baru, Serta melakukan evaluasi jumlah personel TNI/Polri di Aceh agar tidak melanggar kuota MoU. Dan memastikan tidak ada langkah sepihak dari pemerintah pusat yang bisa menghidupkan kembali trauma konflik.

“Perdamaian Aceh adalah amanah sejarah. Jangan abaikan MoU Helsinki hanya demi kepentingan politik jangka pendek. Jika ini dipaksakan, kepercayaan rakyat akan runtuh, dan bukan tak mungkin Aceh kembali ke masa kelamnya,” tegas Cek Bay dengan nada peringatan.

Jika pemerintah pusat tetap memaksakan proyek militer ini, bukan hanya legalitas MoU yang dikangkangi, tapi juga rasa aman dan keadilan masyarakat Aceh yang dipertaruhkan, Tutup Cek Bay.(*) 
ADVERTISEMENT
no