Aceh Subur, Tapi Sayurnya Impor dari Medan
Font Terkecil
Font Terbesar
ACEH UTARA | PASESATU.COM - Saat matahari baru muncul di ufuk timur, deretan mobil angkutan dari Medan, Sumatera Utara, sudah memadati Pasar Panton Labu, Kecamatan Tanah Jambo Aye, Aceh Utara. Bayam, kangkung, sawi, tomat, cabai, kentang, hingga bawang semua turun dari truk berpelat luar daerah.
Setiap pagi, pemandangan serupa juga terjadi di pasar-pasar besar di Aceh, mulai dari Peunayong (Banda Aceh), Inpres Lhokseumawe, Pasar Bireuen, Blangpidie, hingga Tapaktuan. Aceh yang katanya subur, kini hidup dari sayur impor.
Padahal, Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2024 mencatat luas panen sayur-mayur di Aceh mencapai 24.057 hektar angka yang jika dikelola dengan benar, semestinya cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh pasar di provinsi ini.
Komoditas unggulan seperti cabai keriting (7.243 ha), cabai rawit (5.393 ha), bayam (1.740 ha), kangkung (1.726 ha), dan kacang panjang (1.628 ha) seharusnya menjadi tumpuan kemandirian pangan.
Namun angka-angka itu hanya hidup di tabel laporan, bukan di lapak pedagang.
Petani menanam tanpa kepastian harga, panen tanpa jaringan distribusi, dan menjual tanpa jaminan pasar. Sementara pejabat pertanian sibuk menyusun konsep “ketahanan pangan berkelanjutan” dalam forum dan rapat ber-AC.
Lebih menyentuh lagi, di tengah lemahnya produksi lokal, Pemerintah Aceh justru membentuk Dewan Ekonomi Aceh (DEA) sebuah forum baru berisi para profesor dan pengusaha elite.
Anggotanya antara lain Prof. Dr. Ir. Marwan (USK), Prof. Dr. Ir. Herman Fithra, MT., IPM., ASEAN Eng (Unimal), Prof. Dr. Ishak Hasan, M.Si (UTU), Dr. Nurlis Effendi (Unaya), Prof. Dr. Raja Masbar, Dr. Rustam Effendi, dan Ismail Rasjid.
Tujuan resmi DEA adalah “mewujudkan sinergi antara pemerintah, akademisi, dan pelaku usaha untuk memperkuat ekonomi Aceh.”
Namun publik mulai bertanya:
Apakah Dewan ini akan menanam cabai di dikebun, atau hanya menanam teori di ruang seminar?
Rakyat Aceh tidak butuh jargon ekonomi hijau atau roadmap pembangunan pangan yang tebalnya seratus halaman. Yang mereka butuh adalah bibit bagus, pupuk terjangkau, dan pembeli yang pasti.
Namun hingga kini, petani masih berjuang sendiri, sementara kebijakan pertanian terasa lebih banyak disusun untuk acara seremonial ketimbang solusi nyata.
Jika Dinas Pertanian dan Dewan Ekonomi Aceh tak segera turun ke lapangan, jangan salahkan siapa pun bila truk dari Medan terus menjadi urat nadi dapur masyarakat Aceh. Aceh yang dulu dikenal subur kini hanya jadi pasar bagi hasil bumi dari luar daerah.
Kita punya tanah, tapi tidak ditanami.
Kita punya petani, tapi tak diberdayakan.
Kita punya pejabat, tapi lebih pandai berpidato daripada bekerja.
Aceh kini sedang lapar bukan karena kekurangan lahan, tapi karena kekurangan keberpihakan.(*)
