BERITA TERKINI

20 Tahun Perdamaian Aceh: Suara Korban Pelanggaran HAM Masih Terkubur


ACEH UTARA | PASESATU.COM
 – Dua dekade pasca penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki pada 15 Agustus 2005, luka para korban konflik bersenjata di Aceh belum juga sembuh. Di tengah perayaan 20 tahun perdamaian, suara para korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) masih tenggelam dalam senyap.

Forum Komunikasi Korban dan Keluarga Korban Tragedi Simpang KKA (FK3T-SP.KKA) kembali menyuarakan tuntutan pemulihan dan keadilan. Kamis, 14 Juli 2025, koordinator forum Murtala (54) mengunjungi salah satu korban tragedi Simpang KKA, Muhammad Syukur, yang kini mengalami gangguan kejiwaan berat dan hidup dalam kondisi memprihatinkan di Kabupaten Bireuen.

“Sudah 26 tahun kami menanti keadilan, tapi tak banyak yang sudi mendengar,” ucap Murtala dalam  keterangan tertulisnya pada Rabu 06 Agustus 2025.

Tragedi Simpang KKA dan Luka yang Tak Kunjung Pulih

Tragedi berdarah Simpang KKA terjadi pada 3 Mei 1999. Sebanyak 21 warga sipil tewas, dan 146 lainnya mengalami luka-luka dalam insiden penembakan oleh aparat keamanan. Muhammad Syukur, kala itu baru berusia 14 tahun dan sedang menimba ilmu di salah satu dayah di Kecamatan Sawang, Aceh Utara. Ia menjadi salah satu korban tembakan yang mengenai bagian perutnya, menyebabkan trauma berkepanjangan hingga hari ini.

Ibunda Syukur, Kamaliah Amin (73), mengenang betapa mendalamnya luka akibat tragedi itu. “Sampai sekarang saya masih trauma. Anak saya tidak pernah sembuh, tidak bisa sekolah lagi, dan mentalnya terguncang. Kami hidup dalam kekurangan,” tuturnya pilu.

Kakak korban, Sri Wahyuni (40), menambahkan bahwa mereka belum pernah menerima bantuan atau perhatian yang layak dari pemerintah. “Kami berharap ada penanganan medis dan pemulihan psikologis untuk adik kami,” katanya.

Korban Tanpa Program Pemulihan


Menurut Sekretaris FK3T-SP.KKA, Yusrizal (44), hingga kini tidak ada program khusus dari pemerintah yang fokus pada pemulihan trauma dan pemberdayaan ekonomi korban konflik.

“Banyak korban mengalami gangguan mental. Negara hadir hanya dalam pengakuan, tetapi tidak dalam tindakan,” tegasnya.

Ia juga menyoroti ketimpangan dalam distribusi bantuan, di mana korban perempuan lebih sering luput dari perhatian. Pendataan korban yang tidak rapi turut memperparah ketidaktepatan sasaran bantuan.

Pengakuan Negara Tak Berbanding Tindakan Nyata

Pada Januari 2023, negara secara resmi mengakui Tragedi Simpang KKA sebagai pelanggaran HAM berat, bersama peristiwa Rumoh Geudong (Pidie), Pos Sattis (Pidie), dan Jambo Keupok (Aceh Selatan). Namun, pengakuan itu belum diikuti oleh tindakan konkret dalam bentuk pemulihan maupun penegakan hukum.

“Korban tidak hanya butuh uang, tapi juga keadilan. Pelaku pelanggaran HAM harus diadili. Pertemukan kami dengan mereka. Negara tidak boleh memaafkan atas nama korban,” tegas Murtala.

Ia juga menyinggung banyaknya tragedi lain yang belum diakui, seperti pembunuhan di Sungai Arakundo (Aceh Timur), penembakan di Dayah Tgk. Bantaqiah (Nagan Raya), dan penghilangan paksa di Timang Gajah (Bener Meriah).

Tak Ada Masterplan Pemulihan Korban Konflik

Salah satu kelemahan terbesar, menurut Murtala, adalah ketiadaan rencana induk (masterplan) untuk pemulihan korban konflik. Padahal, dana otonomi khusus (Otsus) untuk Aceh selama dua dekade terakhir sangat besar.

“Adakah dari dana Otsus itu yang digunakan untuk pemulihan korban konflik?” tanya Murtala.

Ia juga menegaskan pentingnya pembangunan museum-museum memorial di lokasi-lokasi tragedi besar sebagai ruang edukasi dan pengingat kolektif. Menurutnya, sejarah konflik Aceh harus dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan untuk generasi muda.

“Kita perlu merawat dokumen konflik dan damai agar tidak hilang. Kurikulum sejarah konflik Aceh harus ada,” tambahnya.

Momentum 20 Tahun Damai: Pemerintah Harus Hadir

FK3T-SP.KKA mendesak Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat untuk menjadikan peringatan 20 tahun MoU Helsinki sebagai titik balik dalam pemulihan korban konflik.

“Kami butuh perhatian nyata, bukan sekadar pernyataan simbolis. Tanpa pemulihan dan pemberdayaan, korban akan terus merasa dilupakan, dan perdamaian ini hanya formalitas,” kata Murtala.

Ia menegaskan, kebutuhan korban bukan hanya bantuan ekonomi, tetapi juga pemulihan psikologis dan kepastian hukum terhadap pelaku pelanggaran HAM.

Harapan yang Belum Padam

Meski kecewa dengan lambannya respons negara, para penyintas tidak menyerah. Mereka tetap berupaya bangkit secara mandiri dengan membentuk kelompok dukungan dan pelatihan keterampilan.

“Sebagian korban sudah menjadi kader kesehatan dan pendamping korban. Kami ingin terus tumbuh dan saling menguatkan,” ujar Yusrizal.

Namun, perjuangan mereka tidak bisa sendiri. Negara tetap dituntut hadir secara aktif dan berpihak kepada korban.

“Penantian kami sudah terlalu lama. Sampai kapan kami harus menunggu keadilan?” – Forum Komunikasi Korban dan Keluarga Korban Tragedi Simpang KKA (FK3T-SP.KKA). 

Editor: Syahrul Usman