Transformasi Industri Cot Girek Dari Kebun Tebu ke Kebun Sawit, Menyusuri Jejak Perubahan Ekonomi Aceh Utara
Font Terkecil
Font Terbesar
![]() |
Di sisi kiri tampak bangunan tua pabrik gula, sementara sisi kanan menunjukkan kebun kelapa sawit yang tertata rapi, mewakili perubahan nyata di Cot Girek, Aceh Utara. |
PASESATU.COM — Kawasan Cot Girek Kabupaten Aceh Utara menjadi saksi perubahan mendasar dalam lanskap ekonomi lokal. Dahulu dikenal sebagai sentra produksi gula di bawah naungan Pabrik Gula Cot Girek (PGCG) yang dibangun pada era 1970-an, kini wilayah tersebut telah beralih fungsi menjadi pusat industri kelapa sawit.
Transformasi dari kebun tebu ke kebun sawit ini bukan sekadar pergantian komoditas, melainkan cerminan perubahan arah pembangunan nasional dan dinamika agraria di tingkat lokal.
Pabrik Gula Cot Girek resmi beroperasi pada 19 September 1970 sebagai proyek kerja sama antara Indonesia dan Polandia melalui perusahaan CEKOP. Dengan kapasitas produksi yang signifikan dan lahan tebu ribuan hektare, pabrik ini sempat menjadi simbol kemajuan industri pangan di luar Pulau Jawa. Namun, harapan itu tak berlangsung lama.
Sebagaimana dilaporkan Analisadaily.com (4 Mei 2015), pabrik menghadapi berbagai persoalan, mulai dari rendahnya produktivitas tanaman hingga tingginya biaya logistik.
Seiring meredupnya kejayaan PGCG, ribuan hektare kebun tebu perlahan ditinggalkan. Sekitar pertengahan 1980-an, lahan tersebut mulai dialihfungsikan menjadi kebun kelapa sawit, menandai dimulainya babak baru dalam sejarah agraria Cot Girek.
Menurut laporan Analisadaily.com (9 Maret 2017), hampir seluruh lahan eks kebun tebu telah berubah menjadi perkebunan sawit, sebagian besar dikelola oleh PTPN IV Regional 6 Cot Girek melalui unit PKS Cot Girek. Namun, transformasi ini tak sepenuhnya memberi dampak positif bagi masyarakat sekitar. “
Permasalahan serius muncul di sektor infrastruktur. Jalan produksi yang menghubungkan kebun dengan pabrik maupun pasar masih dalam kondisi memprihatinkan. Akibatnya, petani kesulitan mendistribusikan hasil panen, terutama saat musim hujan.
SpiritNews.co.id (16 Oktober 2024) mencatat keluhan warga terhadap kerusakan jalan produksi sepanjang lebih dari 100 kilometer. “Sudah puluhan tahun jalan ini rusak. Kalau hujan, TBS tak bisa dibawa keluar karena lumpur,” kata salah satu petani.
Selain itu, petani juga menghadapi tantangan dalam sistem kemitraan dan harga jual Tandan Buah Segar (TBS). APKASINDO Aceh Utara menilai terjadi perlakuan tidak adil terhadap petani swadaya.
“Harga TBS petani lebih rendah dibanding plasma, dan ada dugaan manipulasi dalam sistem angkut,” ungkap Ketua APKASINDO Aceh Utara sebagaimana dilansir SpiritNews.co.id (20 Juli 2024).
Meski menuai kritik, PKS Cot Girek juga mencatat beberapa langkah positif. Salah satunya adalah kegiatan donor darah yang digelar pada 14 September 2016 bersama PMI dan masyarakat sekitar (KanalAceh.com, 15 September 2016). Kegiatan ini menunjukkan komitmen sosial perusahaan terhadap lingkungan sekitarnya.
Di bidang ketenagakerjaan, studi Universitas Malikussaleh (2024) mencatat bahwa perusahaan mulai menerapkan prinsip kesetaraan gender dalam struktur kerja. “PKS Cot Girek memperkerjakan perempuan di bidang non-lapangan dan mulai menata struktur kerja yang inklusif,” demikian isi laporan yang dipublikasikan dalam prosiding MICOLLS Unimal.
Perubahan dari kebun tebu ke kebun sawit di Cot Girek merefleksikan dinamika pembangunan yang terus bergerak. Meski industri sawit telah memberikan napas baru bagi ekonomi lokal, keberlanjutan dan pemerataan manfaat masih menjadi persoalan krusial.
Pemerintah daerah dan pusat perlu hadir lebih tegas dalam menyelesaikan persoalan infrastruktur, harga TBS, serta memastikan skema kemitraan yang adil bagi petani swadaya. Lebih jauh, perlindungan terhadap lingkungan dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia lokal perlu menjadi bagian dari strategi pembangunan berkelanjutan.
Transformasi Cot Girek bukan sekadar kisah perpindahan komoditas, melainkan refleksi atas arah pembangunan daerah yang idealnya mampu menyeimbangkan antara pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial, dan kelestarian lingkungan.(*)