Sejarah Pabrik Gula Cot Girek: Jejak Industrialisasi Aceh yang Kini Tinggal Reruntuhan
Font Terkecil
Font Terbesar
PASESATU.COM — Di balik rerimbunan pohon sawit yang menjulang di Kecamatan Cot Girek, Kabupaten Aceh Utara, berdiri bangunan tua yang nyaris dilupakan. Besi-besi berkarat, cerobong rusak, dan gudang kosong menjadi saksi bisu dari kejayaan masa lalu yang kini hanya tersisa dalam ingatan. Itulah Pabrik Gula Cot Girek (PGCG) proyek ambisius pembangunan industri nasional yang pernah menyandang predikat pabrik gula terbesar di luar Pulau Jawa. Namun kini, tempat itu hanya menjadi puing-puing sejarah yang menunggu nasibnya di tengah deru zaman.
Pabrik Gula Cot Girek bukanlah bangunan sembarangan. Ia adalah simbol semangat pembangunan era Orde Baru, proyek hasil kerja sama internasional, dan bagian dari strategi pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di wilayah luar Jawa. Namun, sebagaimana banyak proyek lainnya, PG Cot Girek tak luput dari kendala teknis, kesalahan manajemen, dan masalah keberlanjutan. Kisah lengkapnya menjadi pelajaran penting dalam sejarah pembangunan Indonesia, khususnya Aceh.
Warisan Kolonial Belanda: Benih Proyek yang Tak Terealisasi
Jejak sejarah Pabrik Gula Cot Girek bermula pada masa kolonial Hindia Belanda. Pada tanggal 30 Desember 1919, seorang berkebangsaan Belanda bernama Schwaamhuyzer memperoleh hak konsesi dari Pemerintah Kolonial melalui Surat Keputusan Gouverneur van Atjeh en Onderhorigheden. Tujuan dari konsesi ini adalah membangun industri pengolahan gula berbasis perkebunan tebu di kawasan Cot Girek dan sekitarnya.
Namun, proyek itu tidak kunjung dilaksanakan. Barulah pada 22 Februari 1930 dan kemudian diperkuat kembali pada 14 Desember 1932, hak konsesi resmi berpindah tangan ke perusahaan Belanda NV Cultuur Maatschappij Lhoksukon. Perusahaan ini merencanakan pembangunan pabrik dan pengembangan kebun tebu berskala besar.
“Pada masa kolonial, luas areal perkebunan tebu yang dirancang mencapai 7.890 hektare, terdiri dari dataran seluas 2.000 hektare dan sisanya lahan perbukitan,” tulis Zawiyahnews.com dalam artikel berjudul Sejarah Pembangunan Pabrik Gula di Cot Girek (2022).
Meskipun rencana sudah ditetapkan, pelaksanaan pembangunan tetap tertunda. Ketika Jepang masuk ke Indonesia pada awal 1940-an, proyek ini sepenuhnya berhenti dan meninggalkan jejak yang belum sempat diwujudkan.
Nasionalisasi dan Mimpi Industri Gula di Aceh
Pasca kemerdekaan Indonesia pada 1945, semua aset milik perusahaan Belanda dinasionalisasi oleh pemerintah. Pada 1 Oktober 1952, NV Cultuur secara resmi menyerahkan hak pengelolaan lahan dan perencanaan pembangunan kepada negara melalui Perusahaan Perkebunan Negara (PPN).
Kepemilikan ini menjadi momentum penting bagi pemerintah untuk menghidupkan kembali proyek industri gula yang telah lama terbengkalai. Pada tahun 1959, pemerintah memulai kajian teknis dan studi kelayakan secara serius. Tujuannya adalah mengembangkan kawasan Cot Girek sebagai pusat produksi gula nasional yang mampu mengimbangi dominasi Pulau Jawa.
“Pembangunan kembali pabrik ini merupakan bagian dari strategi nasional untuk menciptakan pusat-pusat industri baru di luar Jawa. Saat itu, kemandirian ekonomi menjadi salah satu prioritas utama Orde Baru,” tulis Portalsatu.com (19/9/2017).
Kerja Sama Internasional: Indonesia–Polandia
Pembangunan ulang Pabrik Gula Cot Girek menjadi kenyataan setelah Pemerintah Indonesia menjalin kerja sama bilateral dengan Polandia. Pada 30 November 1962, kontrak pengadaan peralatan dan teknologi ditandatangani antara Pemerintah Indonesia dengan perusahaan Polandia CEKOP.
Sebagai bagian dari perjanjian, Polandia mengirim sekitar 17.000 ton mesin dan peralatan pabrik ke Indonesia melalui Pelabuhan Belawan dan Lhokseumawe antara tahun 1964 hingga 1967. Pengiriman ini menandai dimulainya fase konstruksi fisik pabrik yang sebelumnya hanya berupa lahan kosong dan rencana-rencana di atas kertas.
Pembangunan pabrik secara fisik dimulai pada April 1965, diawali dengan upacara adat Aceh.
Kunjungan Presiden Soeharto: Momentum Politik dan Harapan
Salah satu momen bersejarah yang memperkuat posisi strategis Pabrik Gula Cot Girek adalah kunjungan Presiden Soeharto pada Mei 1970, empat bulan sebelum peresmian pabrik. Kunjungan tersebut menjadi simbol dukungan penuh negara terhadap pembangunan industri di wilayah Aceh.
“Kedatangan Presiden Soeharto saat itu disambut meriah. Anak-anak sekolah dilatih baris-berbaris, rumah-rumah sepanjang jalan dicat, dan masyarakat ramai-ramai menyambut pemimpin negara,” tulis Portalsatu.com dalam laporan Kisah Presiden Soeharto Kunjungi Pabrik Gula Cot Girek (2023).
Presiden tiba menggunakan helikopter dan disambut oleh Gubernur Aceh, pejabat militer, serta tokoh masyarakat. Ia melihat langsung jalannya proyek pembangunan pabrik yang saat itu sedang berlangsung intensif.
Peresmian Pabrik oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX
Setelah proses pembangunan selama lima tahun, Pabrik Gula Cot Girek akhirnya diresmikan pada 19 September 1970. Peresmian dilakukan oleh Wakil Presiden Sri Sultan Hamengkubuwono IX, mewakili Presiden Soeharto.
Menurut Kompas.id, saat diresmikan, pabrik ini digadang-gadang sebagai pabrik gula terbesar di luar Pulau Jawa. Dengan kapasitas giling mencapai 2.500 ton tebu per hari, Cot Girek diharapkan menjadi pusat produksi gula yang dapat menopang kebutuhan nasional dan membuka lapangan kerja baru di wilayah Aceh Utara.
“Cot Girek merupakan simbol keberhasilan pembangunan industri di luar Jawa. Harapan saat itu begitu besar,” tulis Kompas dalam artikel Cot Girek: Ketika Gula Tak Semanis Kelapa Sawit (2017).
Masa Kejayaan yang Singkat
Setelah diresmikan, Pabrik Gula Cot Girek langsung beroperasi dan mempekerjakan lebih dari 1.000 karyawan. Wilayah sekitar pabrik berkembang pesat. Rumah-rumah dinas, sekolah, rumah sakit, hingga fasilitas olahraga dibangun untuk menunjang kebutuhan para pegawai dan keluarga mereka.
Namun, masa kejayaan itu tidak berlangsung lama. Seiring berjalannya waktu, berbagai tantangan mulai muncul. Infrastruktur jalan yang buruk, biaya produksi tinggi, serta kurangnya subsidi pemerintah membuat operasional pabrik menjadi berat.
“Jarak antara kebun tebu dan pabrik sangat jauh. Biaya angkut menjadi mahal, dan hasil panen pun tidak selalu memuaskan,” ujar M. Idris, mantan karyawan pabrik, sebagaimana dikutip dari Tempo.co dalam laporan Habis Manis di Cot Girek (2015).
Selain itu, banyak lahan yang awalnya ditanami tebu kemudian tidak lagi produktif karena kualitas tanah yang kurang sesuai dan perawatan yang minim. Akhirnya, produksi menurun drastis, dan pabrik mengalami kerugian terus-menerus.
Penutupan dan Kehilangan Aset Negara
Pada awal 1980-an, aktivitas pabrik mulai melambat. Produksi menurun tajam dan biaya operasional membengkak. Akhirnya, sekitar tahun 1985, pemerintah memutuskan untuk menutup Pabrik Gula Cot Girek secara permanen.
Bangunan megah itu kini hanya menjadi besi tua. Peralatan canggih yang dahulu didatangkan dari Polandia dibiarkan berkarat. Beberapa dijarah, sebagian lainnya dibiarkan rusak dimakan waktu.
“Sekarang tinggal puing-puing saja. Dulu kami bangga bisa kerja di sini, tapi sekarang semuanya lenyap,” kata Abdullah, warga Desa Cot Girek yang pernah bekerja sebagai teknisi pabrik, kepada Analisadaily.com (2015).
Dari Gula ke Sawit: Pergeseran Ekonomi Lokal
Setelah penutupan pabrik, sebagian besar lahan bekas kebun tebu dialihkan menjadi perkebunan kelapa sawit. Pergeseran ini membawa dampak besar terhadap struktur ekonomi masyarakat lokal. Dari industri berbasis negara ke perkebunan berbasis korporasi, masyarakat harus menyesuaikan diri.
Meskipun sawit menjanjikan hasil ekonomi baru, namun banyak warga mengaku kehilangan jaminan sosial, fasilitas kesehatan, dan stabilitas pekerjaan yang dulu disediakan oleh Pabrik Gula Cot Girek.
Epilog: Sebuah Pelajaran Pembangunan
Kini, bangunan PG Cot Girek dikelola oleh PTPN IV Regional 6 Cot Girek sebagai aset non-produktif. Tidak ada aktivitas berarti di dalamnya. Namun, bagi masyarakat Cot Girek dan Aceh Utara, pabrik ini tetap menjadi simbol masa lalu yang pernah gemilang.
Pabrik Gula Cot Girek adalah pelajaran tentang ambisi besar negara, pentingnya manajemen yang baik, serta keberlanjutan proyek pembangunan. Ia adalah pengingat bahwa infrastruktur tanpa perencanaan matang dan pengawasan jangka panjang akan gagal memberikan manfaat yang berkelanjutan.(*)
Referensi:
- Zawiyahnews.com, “Sejarah Pembangunan Pabrik Gula di Cot Girek”, 2022
- Portalsatu.com, “19 September 1970: Pabrik Gula Cot Girek Diresmikan”, 2017
- Portalsatu.com, “Kisah Presiden Soeharto Kunjungi Pabrik Gula Cot Girek”, 2023
- Kompas.id, “Cot Girek: Ketika Gula Tak Semanis Kelapa Sawit”, 22 September 2017
- Tempo.co, “Habis Manis di Cot Girek”, 2015
- Analisadaily.com, “Bekas Pabrik Gula Jadi Besi Tua”, 4 Mei 2015
Editor: Syahrul Usman