Kerajaan Islam Pertama di Nusantara yang Berpusat di Aceh Utara
Font Terkecil
Font Terbesar
![]() |
Museum Samudera Pasai. Foto Syahrul /pasesatu.com |
ACEH UTARA | PASESATU.COM - Indonesia memiliki sejarah panjang yang dipenuhi dengan peradaban besar yang beragam. Salah satu bab penting dalam sejarah Islam di Nusantara adalah berdirinya Kerajaan Samudera Pasai, yang terletak di wilayah yang kini dikenal sebagai Aceh Utara. Kerajaan ini, yang didirikan pada abad ke-13, mencatatkan dirinya sebagai kerajaan Islam pertama di Nusantara, sekaligus menjadi pusat perdagangan dan penyebaran agama Islam di Asia Tenggara.
Samudera Pasai memegang peranan penting dalam perkembangan Islam di Indonesia dan wilayah sekitarnya, serta menjadi jembatan perdagangan internasional yang menghubungkan Asia Selatan, Timur Tengah, dan Tiongkok. Kerajaan ini bukan hanya berfungsi sebagai pusat politik dan ekonomi, tetapi juga sebagai pusat intelektual yang membentuk wajah kebudayaan Islam di Nusantara.
Namun, jauh sebelum kemunculan Samudera Pasai, sudah berdiri sebuah kerajaan Islam yang lebih tua bernama Kerajaan Perlak (Peureulak), yang menjadi landasan penting bagi terbentuknya Pasai. Sejarah kedua kerajaan ini berkaitan erat, baik secara politik, kultural, maupun dakwah Islam.
Awal Mula Berdirinya Kerajaan Samudera Pasai
Kerajaan Perlak (Peureulak), terletak di wilayah Aceh Timur saat ini, merupakan kerajaan Islam pertama di Asia Tenggara yang berdiri sekitar tahun 840 Masehi. Didirikan oleh Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Aziz Shah, seorang keturunan Arab dari marga Ahlul Bait yang datang dari Hadramaut, Yaman, Perlak menjadi pelopor dakwah Islam di wilayah pesisir utara Sumatera.
Menurut buku Sejarah Kerajaan Islam Perlak dan Samudera Pasai karya H.M. Zainuddin (1961), setelah Perlak mengalami kemunduran sekitar abad ke-12 akibat konflik internal dan eksternal, keturunan kerajaan tersebut berpindah dan menyebar ke wilayah barat, termasuk ke daerah Samudera dan Pasai.
Di sanalah, muncul seorang bangsawan lokal bernama Meurah Silu yang menikah dengan keturunan kerajaan Perlak. Setelah memeluk Islam, ia dikenal sebagai Sultan Malik al-Saleh dan mendirikan kerajaan baru yang disebut Samudera Pasai. Dengan demikian, secara silsilah, Samudera Pasai dapat dianggap sebagai kelanjutan dinasti Perlak dalam bentuk pemerintahan yang lebih maju dan tersentralisasi.
“Samudera Pasai sebenarnya merupakan hasil dari pembauran keturunan kerajaan Perlak dengan bangsawan lokal Aceh Utara yang telah menerima Islam” – (Zainuddin, Tarikh Aceh dan Nusantara, hlm. 78)
Keterkaitan antara Perlak dan Pasai ini penting untuk dipahami agar tidak terjadi kekeliruan dalam menyebut kerajaan Islam pertama di Nusantara. Perlak adalah pelopor, sementara Pasai adalah kelanjutan dan pengembangan yang kemudian mencapai pengaruh lebih luas.
Kerajaan Samudera Pasai didirikan pada awal abad ke-13, diperkirakan sekitar tahun 1267 M. Berdasarkan catatan dalam buku Tārīkh al-Fattāsh yang ditemukan oleh sejarawan asal Maroko, Ibnu Battutah, Pasai adalah kerajaan Islam yang sangat maju pada masa itu.
Menurut Anthony Reid dalam Southeast Asia in the Age of Commerce, berdirinya Samudera Pasai berhubungan erat dengan perdagangan internasional yang berkembang pesat pada masa itu. Meurah Silu yang kemudian menjadi Sultan Malik al-Saleh membangun kerajaan ini di daerah pesisir utara Sumatera, di sekitar daerah yang sekarang dikenal dengan nama Gampong Samudera di Aceh Utara. Keputusan untuk mengubah kerajaan ini menjadi kerajaan Islam juga didorong oleh semakin kuatnya pengaruh agama Islam di kawasan tersebut, yang datang melalui para pedagang Muslim yang singgah di pelabuhan-pelabuhan di sepanjang pantai Sumatera.
Letak Strategis dan Peran dalam Perdagangan Global
Samudera Pasai terletak di pesisir utara Pulau Sumatera, sebuah posisi yang sangat strategis di jalur perdagangan internasional antara India, Tiongkok, dan Timur Tengah. Pelabuhan Pasai menjadi titik pertemuan antara pedagang-pedagang dari berbagai belahan dunia, menjadikannya pusat perdagangan utama yang penting pada abad ke-13 hingga ke-15.
Menurut Prof. Azyumardi Azra dalam Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara, Samudera Pasai berfungsi sebagai pelabuhan perdagangan yang sangat vital. Pasai mengimpor berbagai komoditas dari Timur Tengah dan India, termasuk rempah-rempah, kain sutra, dan logam mulia. Sebaliknya, komoditas utama Pasai adalah lada dan hasil hutan, yang diekspor ke dunia luar. Samudera Pasai juga menjadi pusat penyebaran agama Islam yang sangat efektif, terutama melalui jalur perdagangan yang menghubungkan dunia Islam dengan Asia Tenggara.
Peran Pasai dalam Penyebaran Islam di Asia Tenggara
Salah satu warisan penting Perlak yang diwarisi oleh Pasai adalah semangat dakwah dan jaringan ulama. Sebagaimana Perlak dahulu mengundang para dai dari Arab dan Gujarat, Pasai pun meneruskan tradisi ini dengan mendirikan madrasah dan pusat kajian Islam yang terbuka bagi pelajar dari seluruh Asia Tenggara.
Dalam buku Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara oleh Prof. Azyumardi Azra, disebutkan bahwa Samudera Pasai adalah perantara penting dalam jaringan ilmu-ilmu keislaman antara Hijaz (Arab Saudi), Gujarat, dan Nusantara.
Ibnu Battutah, penjelajah asal Maroko yang berkunjung ke Pasai pada tahun 1345 M, menyebutkan dalam catatan perjalanannya bahwa Pasai adalah negeri Muslim yang tunduk pada hukum Islam, dengan banyak ulama dan hakim syar’i. Hal ini mencerminkan warisan Perlak yang berhasil dilanjutkan oleh Pasai dalam bentuk yang lebih mapan dan terstruktur.
Sebagai kerajaan Islam pertama di Nusantara, Samudera Pasai memainkan peran yang sangat besar dalam penyebaran agama Islam di kawasan ini. Selain menjadi pusat pemerintahan, Pasai juga menjadi tempat berkumpulnya para ulama dari berbagai penjuru dunia Islam. Hal ini tercermin dalam banyaknya madrasah dan masjid yang dibangun di sekitar wilayah Pasai, serta banyaknya kitab-kitab agama yang diterjemahkan dan diajarkan di sana.
Ibnu Battutah, seorang penjelajah Muslim dari Maroko yang berkunjung ke Pasai pada tahun 1345 M, menyatakan bahwa Pasai adalah pusat Islam yang sangat maju dan menjadi contoh bagi kerajaan-kerajaan Muslim lainnya di Asia Tenggara. Dalam perjalanan dakwahnya, para ulama Pasai tidak hanya menyebarkan Islam di Aceh, tetapi juga ke seluruh Indonesia, Malaka, dan bahkan hingga ke pesisir selatan Thailand.
Sistem Pemerintahan dan Ekonomi Islam di Samudera Pasai
Sultan Malik al-Saleh dikenal sebagai pemimpin yang bijaksana dan adil, memerintah kerajaan ini dengan sistem pemerintahan yang berlandaskan pada syariat Islam. Sistem moneter kerajaan ini juga menggunakan mata uang dirham yang bertuliskan kalimat tauhid dan nama sultan dalam aksara Arab, yang mengindikasikan pengaruh Islam yang sangat kuat dalam aspek pemerintahan dan ekonomi.
Dalam bukunya Pasai: Satu Kajian Sejarah Awal, Dr. M. Yusoff Ismail menyatakan bahwa sistem ekonomi Samudera Pasai berkembang pesat berkat peranannya dalam perdagangan maritim yang menghubungkan berbagai wilayah di Asia dan Timur Tengah. Perdagangan barang-barang seperti lada, emas, dan rempah-rempah menjadikan Pasai sebagai pelabuhan yang sangat sibuk, tidak hanya untuk perdagangan barang tetapi juga untuk pertukaran budaya dan agama.
Hubungan Diplomatik Samudera Pasai dengan Dunia Islam
Samudera Pasai memiliki hubungan diplomatik yang luas dengan berbagai kerajaan dan kekhalifahan Islam, baik di Asia Selatan, Timur Tengah, maupun Tiongkok. Kerajaan ini tercatat mengirimkan utusan ke Dinasti Yuan di Tiongkok, sebagaimana tercatat dalam sumber-sumber Tiongkok kuno yang menyebutkan kedatangan utusan Pasai untuk membangun hubungan dagang.
Selain itu, hubungan dengan kerajaan-kerajaan Islam di India dan Timur Tengah juga sangat erat. Pasai menjadi tempat penting bagi para pedagang Muslim yang berlayar di sepanjang jalur perdagangan maritim. Selain itu, Pasai juga dikenal sebagai pusat studi Islam, dengan banyaknya ulama dan pelajar yang datang untuk belajar di madrasah yang didirikan di sana.
Kemunduran dan Akhir Kejayaan Samudera Pasai
Pada akhir abad ke-15, Pasai mulai mengalami kemunduran. Salah satu penyebab utama kemunduran ini adalah serangan dari Kerajaan Majapahit yang ingin menguasai wilayah utara Sumatera. Meskipun Pasai berhasil bertahan untuk beberapa waktu, namun serangan-serangan tersebut memperlemah kekuatan kerajaan.
Kemudian, pada awal abad ke-16, kedatangan Portugis ke Selat Malaka dan Maluku mengancam jalur perdagangan Pasai. Pada tahun 1511, Portugis berhasil merebut Malaka, dan ini berdampak buruk bagi perdagangan Pasai. Kerajaan Pasai akhirnya mulai kehilangan pengaruhnya dan diserap oleh Kesultanan Aceh Darussalam pada tahun 1524.
Peninggalan Sejarah Samudera Pasai di Aceh Utara
Meskipun Samudera Pasai tidak lagi eksis sebagai sebuah kerajaan, warisannya tetap hidup dalam budaya dan sejarah Aceh. Hingga saat ini, situs-situs bersejarah yang terkait dengan Pasai masih dapat ditemukan di sekitar kawasan Samudera, termasuk makam Sultan Malik al-Saleh yang terletak di Gampong Beuringin, Kecamatan Samudera, Aceh Utara.
Menurut arkeolog Drs. Husni Aman, M.Hum., dalam Arkeologi Islam di Samudera Pasai, banyak peninggalan arkeologis yang ditemukan di sekitar situs ini, termasuk batu nisan dengan aksara Arab yang menunjukkan kuatnya pengaruh Islam di kerajaan tersebut. Situs-situs ini menjadi bukti penting tentang peran Pasai dalam sejarah peradaban Islam di Nusantara.
Warisan Budaya dan Keagamaan
Warisan budaya dan keagamaan Samudera Pasai masih sangat terasa di Aceh. Tradisi zikir, pengajian, dan kajian-kajian Islam yang berkembang di Samudera Pasai masih dilestarikan hingga kini di berbagai pesantren dan lembaga pendidikan Islam di Aceh. Pasai juga menjadi simbol penting bagi masyarakat Aceh dalam menjaga nilai-nilai Islam dan budaya lokal mereka.
Kerajaan Samudera Pasai adalah bukti nyata dari peran besar Aceh Utara dalam sejarah peradaban Islam di Asia Tenggara. Sebagai kerajaan Islam pertama di Nusantara, Samudera Pasai telah menorehkan sejarah yang mendalam, baik dalam bidang perdagangan, agama, maupun budaya. Warisan kerajaan ini masih hidup dan memberikan kontribusi besar bagi identitas Aceh hingga kini.
Jika Perlak adalah gerbang awal masuknya Islam ke Nusantara, maka Samudera Pasai adalah pilar utama yang menyebarluaskan Islam ke seluruh Asia Tenggara. Perlak meletakkan fondasi, sementara Pasai membangun sistem yang lebih matang dan terbuka terhadap dunia luar.
Dengan kata lain, sejarah Perlak dan Pasai tidak bisa dipisahkan. Keduanya membentuk mata rantai yang menyatukan dimensi keislaman, perdagangan, dan budaya dalam satu kesatuan sejarah panjang Aceh sebagai Serambi Mekkah.
Sumber Referensi:1. Reid, Anthony. Southeast Asia in the Age of Commerce. Yale University Press, 1988.2. Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara. Kencana, 2004.3. Zainuddin, H.M. Tarikh Aceh dan Nusantara. Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1961.4. Ismail, M. Yusoff. Pasai: Satu Kajian Sejarah Awal. Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia, 1994.5. Husni Aman. “Arkeologi Islam di Samudera Pasai.” Jurnal Arkeologi Malaysia, 2020.6. Ibnu Battutah. Rihlah Ibnu Battutah. Terjemahan oleh Harun Nasution, UI Press.
Editor: Syahrul Usman