Jejak Raja-Raja Kerajaan Samudera Pasai
Font Terkecil
Font Terbesar
![]() |
Monumen Samudera Pasai. Foto Syahrul Usman /pasesatu.com |
PASESATU.COM — Sejarah panjang Islam di Nusantara tak dapat dipisahkan dari keberadaan Kerajaan Samudera Pasai. Berpusat di kawasan Geudong, Aceh Utara, kerajaan ini tercatat sebagai pusat dakwah, perdagangan, dan kebudayaan Islam di Asia Tenggara pada abad ke-13 hingga 16 Masehi.
Dari balik riwayat yang kerap dilupakan zaman, nama-nama raja besar muncul dengan peran penting dalam membangun peradaban Islam yang kuat di Tanah Rencong. Berikut ini jejak para penguasa Samudera Pasai yang berhasil dihimpun dari berbagai sumber sejarah, mulai dari naskah lokal, catatan musafir, hingga literatur akademik.
Dari Meurah Silu ke Malik al-Saleh: Awal Sebuah Dinasti Islam
Pendiri Kerajaan Samudera Pasai adalah seorang raja Meurah Silu, yang dikenal juga dengan nama Teungku Meurah Silu. Setelah memeluk Islam, ia mengganti namanya menjadi Sultan Malik al-Saleh.
Dalam naskah klasik Hikayat Raja-raja Pasai, diceritakan bahwa Meurah Silu bermimpi bertemu Rasulullah SAW sebelum memutuskan masuk Islam. Tak lama setelah itu, ia mendirikan kerajaan Islam dengan pusat pemerintahan di pesisir utara Aceh.
"Malik al-Saleh menjadi simbol penting awal peradaban Islam di Nusantara," tulis Prof. Dr. H. M. Zainuddin dalam bukunya Tarikh Aceh dan Nusantara (1961). Malik al-Saleh wafat pada tahun 1297 dan dimakamkan di kawasan Geudong, Aceh Utara, yang kini menjadi situs sejarah penting dan lokasi wisata religi.
Malik al-Zahir: Melanjutkan Warisan Sang Ayah
Sepeninggal Malik al-Saleh, tahta dilanjutkan oleh putranya, Sultan Malik al-Zahir. Sosoknya tidak hanya dikenal sebagai pemimpin politik, tetapi juga sebagai penyokong utama pengembangan ilmu pengetahuan dan dakwah Islam.
Salah satu catatan paling berharga tentang pemerintahan Malik al-Zahir datang dari pengembara Muslim terkenal asal Maroko, Ibnu Batutah. Dalam catatannya, Rihlah Ibnu Batutah, ia menyebutkan bahwa Samudera Pasai adalah negeri yang Islami dan rakyatnya taat beragama.
"Saya menjumpai Sultan Malik al-Zahir, ia adalah seorang pemimpin yang adil dan menguasai ilmu agama. Ia sangat memuliakan para ulama dan faqih," tulis Ibnu Batutah dalam kunjungannya ke Pasai pada tahun 1345 M.
Pemerintahan Malik al-Zahir dianggap sebagai puncak kejayaan Kerajaan Samudera Pasai, di mana sistem hukum Islam mulai diterapkan secara luas, serta hubungan diplomatik dengan Kesultanan Delhi dan negeri Arab mulai dibangun.
Sultan Ahmad dan Sultan Muhammad: Pengokoh Struktur Dinasti
Setelah masa Malik al-Zahir, kerajaan dilanjutkan oleh beberapa penguasa lain, di antaranya Sultan Ahmad (Malik al-Zahir II) dan Sultan Muhammad. Nama-nama ini muncul dalam versi-versi naskah Hikayat Raja-raja Pasai.
Meskipun dokumentasi sejarah tentang masa pemerintahan mereka tidak sejelas pendahulunya, para sejarawan menyimpulkan bahwa para penguasa ini melanjutkan struktur pemerintahan Islam dan memperkuat hubungan dagang dengan pedagang asing dari Gujarat, Persia, dan Arab.
"Peranan Samudera Pasai dalam jalur rempah dan perdagangan internasional sangat vital. Raja-raja Pasai saat itu memanfaatkan letak strategis wilayahnya untuk menarik perhatian dunia Islam," jelas A. Hasjmy dalam Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia (1981).
Sultan Zainal Abidin: Hubungan Diplomatik dan Perdagangan
Salah satu tokoh penting lainnya adalah Sultan Zainal Abidin. Ia dikenal menjalin hubungan diplomatik dengan kerajaan-kerajaan Islam lainnya dan memperluas wilayah pengaruh Pasai ke berbagai penjuru pesisir Sumatra bagian utara.
Pada masa inilah, dirham emas bertuliskan kaligrafi Arab dan gelar sultan mulai dicetak, sebagai bagian dari simbol legitimasi kekuasaan Islam. Bukti-bukti arkeologis berupa koin emas Samudera Pasai telah ditemukan dan kini disimpan di Museum Aceh.
Sultan Mahmud dan Akhir Dinasti
Memasuki abad ke-16, kekuasaan Samudera Pasai mulai meredup. Salah satu raja terakhir yang dikenal dalam catatan sejarah adalah Sultan Mahmud. Ia memerintah di tengah tekanan besar, baik dari konflik internal, ekspansi Kesultanan Aceh Darussalam, maupun ancaman kolonial Portugis yang mulai memasuki Selat Malaka.
Menurut catatan Sejarah Melayu, kerajaan Samudera Pasai akhirnya takluk kepada Aceh sekitar tahun 1524 M. Sejak saat itu, bekas wilayah Pasai diintegrasikan ke dalam Kesultanan Aceh Darussalam.
Ragam Sumber Sejarah yang Terverifikasi
Beberapa sumber utama yang dijadikan rujukan dalam penyusunan silsilah raja Samudera Pasai antara lain:
1. Hikayat Raja-raja Pasai
Naskah sejarah lokal yang merupakan sumber primer untuk memahami narasi kerajaan Pasai secara internal. Walau bersifat semi-legendaris, hikayat ini menjadi rujukan penting dalam studi sejarah Islam di Nusantara.
2. Catatan Ibnu Batutah (Rihlah Ibnu Batutah)
Penjelajah Muslim yang pernah berkunjung ke Samudera Pasai dan mencatat kondisi kerajaan serta sosok rajanya secara langsung pada abad ke-14.
3. Sejarah Melayu
Meskipun fokus utamanya adalah kerajaan-kerajaan Melayu, namun naskah ini menyebutkan peran Pasai dalam pembentukan aliansi Islam di kawasan.
4. A. Hasjmy – Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia
Menyajikan penelusuran historis melalui pendekatan dokumenter dan wawancara dengan tokoh adat serta sumber lokal Aceh.
5. Prof. Dr. H. M. Zainuddin – Tarikh Aceh dan Nusantara
Mengupas secara kritis hubungan antara Perlak, Pasai, dan Aceh sebagai satu rangkaian sejarah Islamisasi wilayah barat Nusantara.
6. Penelitian LIPI dan Balai Arkeologi Medan
Menyediakan bukti arkeologis berupa mata uang dirham dan nisan-nisan raja Pasai yang bertuliskan kaligrafi Arab.
Bukti Arkeologis: Nisan dan Dirham Emas
Salah satu bukti nyata keberadaan para raja Samudera Pasai adalah kompleks makam raja-raja yang terdapat di Gampong Beuringin, Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara. Di sana terdapat nisan Sultan Malik al-Saleh dengan inskripsi Arab yang menunjukkan tahun wafatnya pada 1297 M.
Selain itu, pada tahun 2004, tim arkeologi menemukan lebih dari 60 keping dirham emas bertuliskan nama Sultan dan kalimat tauhid, yang diperkirakan berasal dari masa Sultan Zainal Abidin. Penemuan ini memperkuat bukti historis akan keberadaan dinasti Islam Pasai yang kuat dan berpengaruh.
Warisan yang Tak Terhapus Waktu
Kerajaan Samudera Pasai bukan hanya catatan sejarah, tetapi simbol awal peradaban Islam yang melekat kuat dalam identitas masyarakat Aceh hingga kini. Warisan para rajanya tercermin dalam peninggalan arsitektur, tradisi keagamaan, dan semangat dakwah Islam yang masih terus berkembang.
"Pasai telah menanam benih Islam yang menjadi akar kuat bagi kebangkitan Islam di Nusantara," tulis sejarawan Anthony Reid dalam karyanya Southeast Asia in the Age of Commerce (1988).
Kini, dengan meningkatnya minat wisata sejarah dan edukasi Islam, situs-situs peninggalan Samudera Pasai mulai dilirik kembali sebagai aset budaya nasional. Pemerintah daerah Aceh Utara melalui dinas kebudayaan dan pariwisata pun berupaya menghidupkan kembali kejayaan masa lalu dengan restorasi makam dan promosi literasi sejarah lokal.(*)
Editor: Syahrul Usman