Dirham Samudera Pasai: Jejak Emas Perdagangan Internasional dari Tanah Aceh
Font Terkecil
Font Terbesar
![]() |
Dok Ist |
PASESATU.COM — Jauh sebelum rupiah dikenal luas di Nusantara, Kerajaan Samudera Pasai telah lebih dahulu menggunakan mata uang sendiri yang dikenal sebagai dirham. Koin-koin emas berukuran kecil itu tak sekadar menjadi alat tukar dalam transaksi sehari-hari, melainkan juga bukti sahih kemajuan ekonomi kerajaan Samudera Pasai serta simbol hubungan dagang yang menjangkau berbagai belahan dunia.
Penggunaan dirham di Samudera Pasai bukan sekadar mitos yang diwariskan melalui hikayat, melainkan fakta sejarah yang diperkuat oleh temuan arkeologis, catatan penjelajah dunia, serta kajian para sejarawan. Dirham menjadi representasi kemajuan ekonomi, tata niaga, dan pengaruh Pasai dalam jejaring perdagangan internasional pada abad ke-13 hingga ke-16 Masehi.
Mata Uang Emas Pertama dari Nusantara
Dalam artikel yang dimuat DetikEdu (5 September 2022), disebutkan bahwa dirham Samudera Pasai dicetak dari emas murni dengan kadar sekitar 70 persen dan berat rata-rata 0,30 hingga 0,60 gram. Koin-koin ini berdiameter sekitar 10 milimeter dan dihiasi kaligrafi Arab, sering kali memuat nama-nama sultan yang memerintah saat itu seperti Sultan Muhammad Malik al-Zahir, Alaudin, Mansur Malik al-Zahir, Abu Zaid, dan Abdullah.
Menurut catatan arkeolog dan peneliti numismatik, bahan pembuatan dirham Samudera Pasai terdiri dari campuran emas murni dengan sedikit kandungan logam lain seperti tembaga dan perak untuk memperkuat struktur fisiknya. Beberapa koin juga ditemukan terbuat dari perak, terutama untuk transaksi bernilai kecil. Kandungan emas pada dirham emas umumnya mencapai 17 hingga 20 karat, menjadikannya sangat berharga dan tahan lama.
Tak hanya menjadi simbol kekuasaan, dirham juga difungsikan sebagai alat tukar resmi dalam berbagai transaksi, baik di dalam negeri maupun dalam perdagangan dengan bangsa asing. Menurut artikel dari VOI.id, "Mata uang ini menjadi alat tukar resmi yang berlaku tidak hanya dalam lingkup kerajaan, tetapi juga diterima oleh pedagang asing yang berdagang di pelabuhan-pelabuhan Pasai."
Bukti Arkeologis dan Koleksi Museum
Temuan koin emas dirham dari situs-situs sejarah seperti Cot Astana di Aceh Utara menjadi bukti konkret eksistensi dan kemajuan sistem ekonomi Samudera Pasai. Menurut laporan dari iNews Aceh (2023), sejumlah koin ditemukan dalam kondisi relatif utuh dan menunjukkan tingkat keahlian tinggi dalam proses pencetakannya.
Koin-koin dirham Samudera Pasai juga telah menjadi bagian dari koleksi permanen di Indonesian Islamic Art Museum. Koin-koin tersebut memperlihatkan detail yang presisi dalam pencetakannya serta kualitas logam mulia yang tinggi. “Pencetakan dirham di masa itu menunjukkan bahwa kerajaan ini memiliki kendali atas sumber daya tambang serta sistem ekonomi terstruktur yang telah diakui secara luas,” tulis arkeolog Uka Tjandrasasmita dalam bukunya Arkeologi Islam Nusantara.
Tak hanya itu, laporan penelitian dari sejarawan Ibrahim Alfian dan Kusmiati pada tahun 1977 mencatat bahwa dirham Pasai memiliki kadar emas antara 17 hingga 20 karat. Bobotnya pun cenderung stabil antara 0,50 hingga 0,60 gram, menandakan bahwa sistem ekonomi kerajaan memiliki standar baku dalam urusan moneter.
Hubungan Dagang Internasional yang Luas
Letak strategis Samudera Pasai di pesisir utara Aceh menjadikannya pusat transit perdagangan yang vital di kawasan Asia Tenggara. Berbagai komoditas seperti lada, kapur barus, emas, sutra, dan keramik diperdagangkan secara intensif antara pedagang dari Timur Tengah, India, Tiongkok, dan Asia Tenggara.
Dalam catatan ResearchGate berjudul The Power of The Acehnese Dirham in Muamalah Transactions (2022), disebutkan bahwa Pasai mengenakan pajak sebesar 6 persen kepada kapal-kapal asing yang berdagang di wilayahnya. Ini merupakan indikator bahwa kerajaan tersebut tidak hanya menjadi lokasi perdagangan pasif, tetapi aktif dalam mengelola, mengatur, dan mendapatkan keuntungan dari aktivitas perdagangan lintas batas.
Catatan penjelajah terkenal seperti Ibnu Battuta, yang mengunjungi Samudera Pasai pada tahun 1345 M, juga mengungkapkan hal senada. Ia menyebut Pasai sebagai pusat pelabuhan yang ramai dengan aktivitas ekonomi dan memiliki sistem politik yang mengikuti ajaran Islam mazhab Syafi'i. Hal ini menjadi penguat bahwa kerajaan ini tidak hanya berkembang dari sisi ekonomi, tetapi juga memiliki tata kelola pemerintahan dan hukum yang kuat.
Penjelajah Eropa seperti Marco Polo dan catatan pelaut Cina, Ma Huan, juga menyebut Samudera Pasai sebagai salah satu pelabuhan utama yang dikunjungi para pedagang internasional. Kerajaan ini menjadi pintu masuk utama Islam, budaya Arab-Persia, dan produk-produk perdagangan dunia ke kawasan Asia Tenggara.
Integrasi Nilai Islam dalam Ekonomi
Selain sebagai alat tukar dan simbol kekuasaan, dirham Samudera Pasai juga menjadi bagian dari upaya kerajaan dalam menerapkan prinsip ekonomi Islam. Koin-koin tersebut tidak hanya berisi nama raja dan tahun hijriah, tetapi juga kadang disertai kalimat tauhid atau doa-doa pendek.
“Samudera Pasai adalah contoh kerajaan yang berhasil menerapkan prinsip ekonomi Islam jauh sebelum sistem serupa dikenal luas di Asia Tenggara,” jelas Kusmiati dalam kajiannya mengenai muamalah dan sejarah Islamisasi ekonomi di Nusantara.
Hal ini menunjukkan bahwa ekonomi kerajaan tidak berjalan secara sekuler, tetapi terintegrasi erat dengan syariat dan hukum Islam. Penggunaan dirham yang dicetak sendiri menjadi bukti bahwa Pasai memiliki otoritas dalam menentukan sistem keuangan yang sah menurut agama dan berdaya guna dalam praktik perdagangan harian.
Jejak dalam Hikayat dan Sumber Tertulis
Hikayat Raja-raja Pasai, salah satu naskah Melayu tertua, juga memuat penjelasan mengenai penggunaan dirham dalam kehidupan kerajaan. Dalam hikayat ini, dirham disebut sebagai alat tukar yang digunakan rakyat dan menjadi bagian dari struktur ekonomi kerajaan.
Dukungan terhadap eksistensi dirham sebagai alat tukar juga datang dari berbagai naskah asing, termasuk laporan pelayaran dan perdagangan dari pelaut-pelaut Arab dan Eropa. Keberadaan catatan ini semakin memperkuat bahwa Samudera Pasai memang telah menjalankan fungsi sebagai pusat ekonomi dengan sistem keuangan yang terorganisir.
Tantangan Pelestarian dan Potensi Wisata Sejarah
Meski bukti-bukti sejarah mengenai dirham Samudera Pasai telah banyak ditemukan, tantangan terhadap pelestariannya masih besar. Situs-situs penting seperti Cot Astana, makam Sultan Malikussaleh, dan pelabuhan tua di kawasan Samudera, Aceh Utara, banyak yang belum mendapatkan perhatian maksimal dari pemerintah dan lembaga kebudayaan.
Upaya pelestarian sebenarnya telah dilakukan dengan pembangunan Monumen Islam Samudera Pasai di kawasan Gampong Beuringen Kecamatan Samudera. Namun, monumen tersebut baru sebatas simbolis dan belum menjadi pusat edukasi atau museum interaktif yang dapat memperkenalkan sejarah ekonomi Islam Pasai secara komprehensif.
Menggali Potensi Masa Depan
Sebagai salah satu kerajaan besar di masa lampau, Samudera Pasai menyimpan banyak pelajaran yang relevan dengan kondisi Indonesia saat ini. Dari sistem pencetakan uang sendiri, pengelolaan pelabuhan, hingga pajak perdagangan, semua menjadi cikal bakal kebijakan ekonomi modern yang masih relevan.
Dengan dirham sebagai simbol kejayaan dan kemandirian ekonomi, sudah saatnya sejarah Samudera Pasai diangkat ke permukaan sebagai warisan yang membanggakan. Pelestarian artefak dan peninggalan seperti dirham harus menjadi prioritas, tidak hanya demi menjaga identitas sejarah, tetapi juga sebagai bagian dari pembangunan ekonomi kreatif berbasis sejarah dan budaya.
Dirham Samudera Pasai bukan hanya sekadar koin logam berukuran kecil, tetapi menjadi lambang dari sistem ekonomi yang matang, kebijakan politik yang berpihak pada kedaulatan, serta hubungan internasional yang luas. Dengan sejarah yang kaya ini, Samudera Pasai layak dikenang sebagai pionir ekonomi Islam di Nusantara dan pelopor hubungan dagang global dari bumi Aceh.(*)
Sumber Referensi:
- VOI.id, “Menelusuri Jejak Ekonomi Samudera Pasai”, 2021
- Detik.com, “Mata Uang Kerajaan Samudera Pasai Terbuat dari Emas 70%”, 2022
- iNews Aceh, “Sejumlah Peninggalan Kerajaan Samudera Pasai Ditemukan di Aceh”, 2023
- ResearchGate, “The Power of The Acehnese Dirham in Muamalah Transactions”, 2022
- Buku Arkeologi Islam Nusantara, Uka Tjandrasasmita
- Indonesian Islamic Art Museum
- Hikayat Raja-Raja Pasai
Editor: Syahrul Usman