Sidang Putusan Kasus Perdagangan Kulit Harimau di Aceh Tengah Ditunda
TAKENGON | PASESATU.COM – Agenda pembacaan putusan terhadap lima terdakwa kasus perdagangan kulit dan bagian tubuh harimau Sumatra di Pengadilan Negeri (PN) Takengon, Kabupaten Aceh Tengah, belum dapat dilaksanakan sesuai jadwal. Sidang yang semestinya berlangsung pada Kamis, 21 Agustus 2025, terpaksa ditunda lantaran ketua majelis hakim berhalangan hadir.
Juru Bicara PN Takengon, Damecson Andripari Sagala, menjelaskan bahwa Ketua PN Takengon sekaligus ketua majelis perkara, Rahma Novatiana, harus mengikuti rapat konstatering terkait perkara perdata di Pengadilan Tinggi Banda Aceh. “Persidangan hari ini ditunda dan akan dijadwalkan ulang pada pekan depan,” ujar Damecson, Sabtu (23/8/2025) dikutip metrotvnews.com.
Tuntutan JPU
Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Aceh Tengah telah membacakan tuntutan terhadap kelima terdakwa. Maskur (50), warga Kecamatan Bebesen, dituntut hukuman paling berat, yakni enam tahun penjara serta denda Rp100 juta subsider tiga bulan kurungan.
Sementara empat terdakwa lain, yaitu Santoso (40) warga Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah; Jaharuddin (54); Ruhman (29); dan Saprizal (25), yang merupakan warga Kecamatan Linge, Aceh Tengah, masing-masing dituntut empat tahun penjara dengan denda Rp100 juta subsider empat bulan kurungan.
Kronologi Kasus
Kasus ini bermula pada 11 Maret 2025 ketika tiga terdakwa, yakni Jaharuddin, Ruhman, dan Saprizal, memasang jerat di kawasan hutan Kampung Gewat, Aceh Tengah. Awalnya mereka berniat menangkap rusa atau kijang, namun seekor harimau Sumatra justru terjerat hingga mati.
Karena mendekati hari raya dan membutuhkan uang, ketiganya kemudian menguliti harimau tersebut. Kulit dan bagian tubuh satwa dilindungi itu dijual kepada Maskur seharga Rp1 juta. Belakangan, Maskur bersama Santoso ditangkap aparat saat hendak melakukan transaksi jual beli pada 14 Maret 2025.
Penegakan Hukum Konservasi
Plt Kepala Kejaksaan Negeri Aceh Tengah, Sayid Muhammad, menegaskan bahwa proses hukum ini diharapkan menjadi pembelajaran bagi masyarakat untuk tidak lagi terlibat dalam praktik perdagangan satwa liar. “Hukum harus memberikan efek jera, agar masyarakat sadar bahwa memanfaatkan kekayaan alam secara ilegal akan berdampak buruk, bukan hanya bagi lingkungan, tetapi juga bagi kita sendiri. Kalau alam tidak dijaga, bagaimana alam bisa menjaga kita,” tegas Sayid.
Kelima terdakwa didakwa melanggar Pasal 40A Ayat (1) huruf e jo Pasal 21 Ayat (2) huruf b UU No. 32 Tahun 2024 tentang Perubahan atas UU No. 5 Tahun 1990 mengenai Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Sidang putusan rencananya akan kembali digelar pekan depan di PN Takengon.(*)