BERITA TERKINI

Mualem: Dari Panglima di Medan Konflik hingga Tokoh Perdamaian yang Mendapat Penghargaan

Gubernur Aceh Muzakir Manaf, saat menerima piagam penghargaan "Lifetime Achievement" dari Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry yang diserahkan langsung Oleh Rektor UIN Ar-Raniry Prof. Dr. H. Mujiburrahman, M.Ag, di Meuligoe Gubernur Aceh, Banda Aceh, Jum'at (15/8/2025).
Gubernur Aceh Muzakir Manaf, saat menerima piagam penghargaan "Lifetime Achievement" dari Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry yang diserahkan langsung Oleh Rektor UIN Ar-Raniry Prof. Dr. H. Mujiburrahman, M.Ag, di Meuligoe Gubernur Aceh, Banda Aceh, Jum'at (15/8/2025). Dok Humas Pemprov Aceh

BANDA ACEH | PASESATU.COM 
– Sore itu, Jumat (15/8/2025), halaman Meuligoe Gubernur Aceh dipenuhi suasana khidmat. Di hadapan tamu undangan, tokoh masyarakat, dan akademisi, Muzakir Manaf, akrab disapa Mualem berdiri tegap menerima Lifetime Achievement Award dari Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh.

Bagi sebagian orang, penghargaan ini hanyalah simbol. Namun bagi Aceh, momen tersebut adalah pengakuan atas perjalanan panjang seorang mantan Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang kini menjadi Gubernur. Dari medan pertempuran di pedalaman hingga meja perundingan di Helsinki, Mualem telah menempuh jalur hidup yang jarang dilalui seseorang dalam satu masa.

Lahir di Tanah Rencong, Mualem tumbuh di tengah gelombang sejarah yang penuh gejolak. Saat konflik Aceh memuncak, ia berada di garis depan sebagai Panglima GAM, memimpin pasukan di berbagai wilayah. Kehidupan di hutan, strategi gerilya, dan tekad mempertahankan aspirasi Aceh menjadi bagian dari kehidupannya selama bertahun-tahun.

Namun, Mualem juga memahami bahwa perjuangan tidak selamanya harus berakhir di medan tempur. Ketika momentum perundingan dengan Pemerintah Indonesia terbuka, ia melihat kesempatan untuk menempuh jalan damai demi masa depan generasi Aceh.

Rektor UIN Ar-Raniry, Prof Mujiburrahman, yang menyerahkan langsung penghargaan ini, menyebut Mualem sebagai salah satu tokoh sentral dalam terciptanya perjanjian damai 15 Agustus 2005. Ia mengutip kisah Wakil Presiden RI saat itu, Jusuf Kalla, yang menjadi mediator perundingan.

“Pak JK pernah bilang, kunci perdamaian Aceh adalah kepercayaan. Kepercayaan itu datang dari komunikasi yang dibangun dengan para pimpinan GAM, termasuk Mualem. Dari situ lahirlah jalan menuju MoU Helsinki,” ujar Prof Mujiburrahman.

Perjanjian itu mengakhiri konflik bersenjata selama puluhan tahun dan membuka lembaran baru pembangunan di Aceh. Mualem, yang kala itu masih mengenakan atribut pejuang, menjadi simbol bahwa rekonsiliasi bisa lahir dari tangan mereka yang pernah berada di barisan perlawanan.

Pasca-perdamaian, Mualem memilih jalur politik sebagai wadah perjuangan baru. Ia terjun ke panggung demokrasi Aceh, membangun partai lokal, dan akhirnya dipercaya rakyat untuk menduduki kursi Gubernur.

Sebagai kepala daerah, ia memikul beban harapan masyarakat membangun infrastruktur, memajukan pendidikan, dan menegakkan nilai-nilai budaya serta Syariat Islam. Namun, di balik kebijakan-kebijakan itu, tetap melekat identitasnya sebagai mantan Panglima GAM yang memahami arti pengorbanan dan arti pentingnya menjaga perdamaian.

“Penghargaan ini bukan hanya untuk saya, tapi untuk seluruh masyarakat Aceh yang pernah berjuang dan yang kini menjaga perdamaian,” ujar Mualem dalam sambutannya. Suaranya tegas, namun sarat rasa syukur.

Selain Mualem, penghargaan serupa juga diberikan kepada T. Kamaruzzaman alias Ampon Man, salah satu juru runding GAM di Helsinki. Keduanya dianggap mewakili dua sisi perjuangan: di medan pertempuran dan di meja perundingan.

Bagi generasi muda Aceh, kisah Mualem adalah pelajaran tentang perubahan. Ia membuktikan bahwa seorang pejuang dapat meninggalkan senjata, memilih diplomasi, dan tetap memegang teguh idealisme. Dari hutan belantara hingga ruang kerja gubernur, dari dentuman senjata hingga jabat tangan perdamaian, perjalanan itu kini diakui oleh dunia akademik sebagai kontribusi nyata bagi Aceh.

Di penghujung acara, tepuk tangan panjang mengiringi Mualem yang menunduk menerima penghargaan. Bagi Aceh, ini bukan hanya soal sebuah trofi atau piagam. Ini adalah pengingat bahwa perdamaian lahir dari keberanian, dan keberanian itu pernah dimiliki dan dijaga oleh seorang yang kini mereka panggil Mualem.(*) 


Editor : Syahrul Usman