BERITA TERKINI

Mengenal Ciri-Ciri Bibit Kelapa Sawit Berkualitas: Fondasi Perkebunan Produktif dan Berkelanjutan

Mengenal Ciri-Ciri Bibit Kelapa Sawit Berkualitas: Fondasi Perkebunan Produktif dan Berkelanjutan

ACEH UTARA  | PASESATU.COM
– Bibit kelapa sawit merupakan titik awal sekaligus penentu utama dalam menciptakan perkebunan yang produktif, efisien, dan ramah lingkungan. Banyak petani menanam sawit tanpa memperhatikan kualitas bibit, padahal langkah tersebut bisa berdampak besar terhadap produktivitas dan keberlangsungan usaha dalam jangka panjang.

Bibit yang unggul akan menghasilkan tanaman yang kuat, cepat berbuah, serta tahan terhadap berbagai tekanan biotik maupun abiotik. Sebaliknya, penggunaan bibit asal-asalan atau palsu bisa menyebabkan tanaman gagal tumbuh, mandul, hingga menyebabkan kerugian ekonomi dalam skala besar.

Warna Radikula: Menunjukkan Vitalitas Benih

Salah satu indikator awal kualitas bibit sawit adalah warna radikula—yakni bagian akar primer yang tumbuh dari biji. Bibit yang sehat akan menunjukkan radikula berwarna kekuning-kuningan cenderung kehijauan. Warna ini menandakan viabilitas benih yang tinggi dan kesiapan fisiologis untuk tumbuh dengan optimal.

Adapun calon batang (bongkot) dan calon daun dari kecambah juga perlu diperhatikan. Bibit yang baik memiliki warna keputih-putihan bersih dan tidak tampak kusam atau menghitam.

“Radikula yang sehat menunjukkan benih masih aktif secara fisiologis dan belum mengalami proses penuaan dini,” ujar tim peneliti Balai Penelitian Tanaman Palma (Balit Palma) dalam buku Pedoman Perbanyakan Bibit Sawit Unggul (2022).

Ukuran Calon Batang: Makin Pendek, Makin Kuat

Bongkot bibit atau calon batang sawit idealnya berukuran pendek dan gemuk. Bongkot yang terlalu panjang menunjukkan terjadinya etiolasi atau pemanjangan batang akibat kurang cahaya. Hal ini membuat tanaman lebih rentan rebah dan mengalami pertumbuhan tidak seimbang.

Menurut Ir. Jhonson Situmeang, M.P., dosen Fakultas Pertanian USU, “Bibit dengan bongkot pendek memiliki jaringan batang yang kompak, sistem akar yang berkembang baik, dan lebih tahan terhadap kondisi lapangan.”

Hasil uji lapangan yang dilakukan PT Socfin Indonesia dan dipublikasikan dalam Jurnal Agronomi Tropika (2023) menunjukkan bahwa bibit dengan bongkot pendek menghasilkan TBS (Tandan Buah Segar) 18 persen lebih tinggi dibanding bibit berbongkot panjang dalam 3 tahun pertama panen.

Bentuk Bibit: Lonjong, Simetris, dan Tanpa Cacat

Fisik benih juga perlu diperhatikan. Bibit yang baik memiliki bentuk bulat atau lonjong yang simetris dan mulus. Bibit yang cacat, pecah, atau terdapat cekungan, biasanya mengalami gangguan dalam proses pertumbuhan dan rentan menjadi tanaman abnormal.

“Bentuk bibit berpengaruh pada perkembangan embrio dan sistem akar. Bibit cacat cenderung berkembang menjadi tanaman kerdil, tidak berbuah, atau menghasilkan TBS dalam jumlah minim,” jelas Dr. Siti Rahmawati, peneliti dari PPKS Medan dalam Webinar Nasional Sawit Berkelanjutan tahun 2024.

Teknik Perbanyakan Bibit: Generatif dan Vegetatif

Bibit kelapa sawit dikembangkan melalui dua metode: generatif (dari biji) dan vegetatif (kloning atau kultur jaringan). Di Indonesia, metode generatif masih dominan, khususnya dari hasil persilangan Dura x Pisifera yang menghasilkan varietas Tenera—jenis sawit dengan rendemen CPO tertinggi.

Namun, metode vegetatif mulai dilirik karena menghasilkan tanaman dengan performa seragam dan potensi hasil lebih tinggi.

“Bibit hasil kloning terbukti memiliki konsistensi dalam produksi, tapi biayanya masih tinggi dan terbatas penggunaannya,” ujar Dr. Hj. Mariani dari Lembaga Bioteknologi Perkebunan Indonesia.

Legalitas Bibit: Jangan Terjebak Bibit Ilegal

Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjenbun) mengimbau agar petani hanya menggunakan bibit sawit dari sumber bersertifikat. Bibit ilegal atau palsu seringkali berasal dari benih tua, limbah, atau sisa penyortiran industri pembibitan. Bibit semacam ini dijual murah dan menarik minat petani, tetapi tidak memiliki potensi hasil yang baik.

“Peredaran bibit sawit ilegal masih tinggi dan menimbulkan kerugian petani dalam jangka panjang. Kami terus melakukan pengawasan dan sosialisasi pentingnya penggunaan benih bersertifikat,” ujar Ir. Heru Tri Widarto, M.P., Direktur Tanaman Tahunan dan Penyegar, Ditjenbun, dalam siaran pers tahun 2024.

Menurut data Ditjenbun, dari sekitar 16,3 juta hektare perkebunan sawit di Indonesia, sekitar 38% masih menggunakan bibit yang tidak tersertifikasi. Hal ini menjadi tantangan serius dalam peningkatan produktivitas nasional.

Kontribusi Bibit Unggul Terhadap Produktivitas Nasional

Bibit unggul bukan sekadar persoalan kualitas benih, tapi juga menyangkut kedaulatan pangan, ekspor, dan pendapatan negara. Data GAPKI menyebutkan, produktivitas nasional sawit Indonesia berkisar antara 3–4 ton CPO per hektare per tahun, padahal potensi maksimal bibit unggul bisa mencapai 9 ton/ha/tahun.

GAPKI dalam laporan tahunannya (2024) menyebutkan: “Penggunaan bibit bersertifikat secara nasional baru mencapai 62%. Sisanya didominasi bibit tidak jelas asal-usulnya, yang menyebabkan hasil produksi tidak optimal.”

Dengan adopsi penuh bibit unggul, Indonesia diperkirakan bisa menambah pasokan CPO hingga 7 juta ton per tahun tanpa ekspansi lahan—suatu solusi berkelanjutan untuk mendukung komitmen pemerintah dalam mengurangi deforestasi.

Studi Kasus: Dampak Bibit Palsu di Lapangan

Petani di kawasan Langkahan, Aceh Utara, pernah mengalami kegagalan panen akibat bibit palsu yang beredar secara ilegal. Dalam investigasi tahun 2023 oleh Perkebunan News, ditemukan bahwa lebih dari 200 hektare sawit milik petani rakyat tidak menghasilkan buah meski telah berusia lima tahun tanam.

“Bibitnya kami beli murah dari pasar. Penjualnya tidak punya surat atau label resmi. Kami tergiur harga, tapi akhirnya rugi semua,” kata M. Yunus, salah satu petani yang dirugikan.

Kasus tersebut menjadi pembelajaran penting bahwa pemilihan bibit bukan hanya soal harga, tetapi soal masa depan perkebunan.

Upaya Pemerintah dan Dunia Usaha

Untuk menangani maraknya bibit ilegal, pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan seperti Sistem Informasi Peredaran Benih (SIPB) dan sertifikasi berlapis dari produsen benih. Selain itu, pelatihan teknis bagi petani dan penyuluh juga diperluas melalui program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).

“Dengan sistem PSR, petani tidak hanya mendapatkan bantuan dana, tetapi juga pendampingan teknis dan akses pada benih unggul yang telah tersertifikasi,” jelas Dirjen Perkebunan, Dr. Andi Nur Alam Syah dalam Rakernas Perkebunan tahun 2024.

Beberapa perusahaan swasta seperti Asian Agri, Wilmar, dan PT Socfin Indonesia juga mendirikan pusat pembibitan modern yang terbuka bagi petani plasma maupun swadaya. Model kemitraan ini menjadi solusi yang menjanjikan untuk menyuplai bibit unggul secara merata dan terpercaya.

Bibit Adalah Pondasi, Bukan Sekadar Awal

Pemilihan bibit sawit unggul adalah investasi jangka panjang yang tidak bisa ditawar. Mulai dari morfologi, fisiologi, hingga legalitas benih harus diperhatikan secara menyeluruh. Sebab, seluruh kinerja kebun—dari awal tanam hingga puluhan tahun ke depan—bergantung pada kualitas bibit yang digunakan.

“Bibit unggul menyumbang lebih dari 50% kesuksesan sebuah kebun. Sisanya tergantung pada pengelolaan teknis dan lingkungan,” tulis Balit Palma dalam laporan tahunannya (2022).

Sebagai negara produsen sawit terbesar di dunia, sudah saatnya Indonesia mengedepankan mutu bibit sebagai strategi nasional untuk meningkatkan daya saing di pasar global sekaligus menjaga keberlanjutan lingkungan hidup.(*) 


Editor: Syahrul Usman