Dua Dekade Damai Aceh, Dari Dentuman Senjata ke Harmoni yang Abadi
Font Terkecil
Font Terbesar
Bagi banyak orang Aceh, hari itu adalah bab baru dalam sejarah.
BANDA ACEH | PASESATU.COM – Dua puluh tahun lalu, dentuman senjata, jeritan ketakutan, dan aroma mesiu adalah keseharian di Tanah Rencong. Namun hari ini, di langit teduh Banda Aceh, suara kepakan merpati putih mengalahkan semua kenangan kelam itu. Di pelataran Balai Meuseuraya, ribuan pasang mata menyaksikan momen yang dulu tak pernah terbayang, mantan panglima perang, pejabat pemerintah, tokoh adat, berdiri berdampingan, merayakan perdamaian yang lahir dari darah, air mata, dan tekad untuk mengakhiri perang.
Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, atau yang akrab disapa Mualem, berdiri di podium. Suaranya tegas, namun nada harunya tak bisa disembunyikan.
"Hari ini, genap 20 tahun Aceh hidup dalam suasana damai. Ada masa yang membosankan, ada yang menggairahkan, dan ada pula yang penuh tantangan. Namun kita membuktikan bahwa perdamaian ini lebih panjang dari banyak perjanjian di negara lain," ujarnya.
Di hadapan undangan yang terdiri dari pejabat, tokoh adat, perwakilan LSM, hingga masyarakat biasa, Mualem mengingatkan bahwa perdamaian bukan hadiah yang datang tiba-tiba. Ia lahir dari pengorbanan panjang, darah, air mata, dan tekad untuk mengakhiri konflik bersenjata yang selama puluhan tahun membekap Aceh.
Konflik Aceh bukanlah cerita singkat. Sejak dekade 1970-an, ketegangan antara pemerintah pusat dan masyarakat Aceh yang tergabung dalam Gerakan Aceh Merdeka (GAM) terus membara. Isu kesenjangan ekonomi, ketidakadilan pengelolaan sumber daya alam, hingga pelanggaran HAM menjadi bara yang sulit dipadamkan.
Gelombang kekerasan memuncak pada era 1990-an, ketika operasi militer diberlakukan. Desa-desa menjadi sunyi karena warganya mengungsi, aktivitas ekonomi lumpuh, dan rasa takut menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Namun bencana alam dahsyat pada 26 Desember 2004 lalu, gempa bumi dan tsunami yang merengut ratusan ribu jiwa menjadi titik balik sejarah. Tragedi itu menghentak hati semua pihak. Di tengah puing-puing, lahir kesadaran bahwa dendam tak lagi punya tempat di Aceh.
Awal 2005, jalan menuju meja perundingan mulai dibuka. Melalui mediasi Crisis Management Initiative (CMI) yang dipimpin Presiden Finlandia ke-10, Martti Ahtisaari, perwakilan Pemerintah Indonesia dan GAM bertemu di Helsinki. Perundingan ini berlangsung intens, dengan enam putaran diskusi sejak Januari hingga Agustus 2005.
Akhirnya, pada 15 Agustus 2005, Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki ditandatangani. Kesepakatan ini mencakup penghentian permusuhan, penarikan pasukan non-organik, pembentukan partai lokal di Aceh, reintegrasi mantan kombatan, serta penegakan hak-hak sipil.
Bagi banyak orang Aceh, hari itu adalah bab baru dalam sejarah.
Dua puluh tahun kemudian, Aceh bukan lagi wilayah yang identik dengan baku tembak. Kota-kota berkembang, kegiatan ekonomi menggeliat, dan anak-anak tumbuh tanpa mengenal dentuman senjata.
"Meski baru 30 persen poin kesepakatan yang dijalankan pemerintah pusat, kami tetap memegang komitmen perdamaian ini dengan ikhlas,"tegas Mualem.
Salah satu poin yang belum terealisasi adalah pengadaan lahan untuk mantan kombatan, yang hingga kini masih terbentur birokrasi dan pergantian pejabat di kementerian terkait.
Namun, Mualem menegaskan, kendala itu tak boleh menjadi alasan untuk kembali ke masa lalu. Ia berencana menghadap Presiden Prabowo Subianto untuk membahas langkah konkret penyelesaian.
Wali Nanggroe Aceh, Tgk Malik Mahmud Al-Haytar, yang juga merupakan salah satu tokoh utama dalam proses Helsinki, mengajak semua pihak menjadikan peringatan dua dekade damai sebagai titik balik memperjuangkan kesejahteraan rakyat.
"Perdamaian bukan sekadar tiadanya perang, tapi hadirnya kemakmuran. Pemerintah Aceh harus transparan dan bertanggung jawab agar rakyat merasakan manfaatnya," ujarnya.
Bagi komunitas internasional, perdamaian Aceh adalah kisah sukses yang langka. Banyak perjanjian damai di dunia kandas dalam hitungan bulan atau tahun. Konflik di Pattani, Mindanao, atau Kashmir menjadi bukti bahwa mempertahankan kesepakatan lebih sulit daripada menandatanganinya.
Dalam sebuah forum di PBB tahun 2015, perwakilan CMI menyebut Aceh sebagai "living proof" bahwa perundingan yang inklusif dan komitmen jangka panjang dapat mengakhiri perang yang tampaknya tak berkesudahan.
Di lapangan, cerita damai ini terasa nyata. Misalnya, di Pidie, mantan kombatan kini mengelola kebun kakao. Di Lhokseumawe, bekas pejuang membuka usaha transportasi laut. Sementara di Banda Aceh, generasi muda tumbuh dengan mimpi yang lebih besar dari sekadar bertahan hidup.
"Dulu, suara tembakan adalah alarm pagi kami. Sekarang, suara azan dan pasar yang ramai jadi tanda kehidupan," kata Abdullah, warga Aceh Utara.
Meski begitu, perdamaian Aceh tetaplah rapuh jika tidak dijaga. Potensi gesekan politik, ketidakpuasan terhadap implementasi MoU, dan tantangan ekonomi bisa saja menjadi bibit masalah. Oleh karena itu, momentum peringatan dua dekade ini menjadi penting untuk memperkuat komitmen bersama.
"Perdamaian adalah warisan terbesar yang kita tinggalkan untuk generasi mendatang. Jangan biarkan ia hilang hanya karena kita lalai menjaganya," pesan Mualem di penghujung pidatonya.
Pelepasan merpati putih menutup upacara di Balai Meuseuraya. Sayap-sayap kecil itu membelah langit Aceh mengingatkan semua orang bahwa kebebasan dan kedamaian bukanlah sesuatu yang datang sekali, lalu bertahan selamanya. Ia harus dirawat, dijaga, dan diperjuangkan setiap hari.(*)