Gema Rapai dan Bara Daboh Hangatkan Malam Kemerdekaan di Tanah Luas
ACEH UTARA | PASESATU.COM – Langit Kecamatan Tanah Luas berpendar cahaya lampu sorot, memantul di wajah-wajah antusias warga. Jam menunjukkan pukul 22.13 WIB, namun semangat perayaan HUT ke-80 Republik Indonesia tak sedikitpun meredup. Di Lapangan Bumi Gas, suasana riuh karnaval perlahan berganti menjadi momen yang lebih sakral, dentuman Rapai Daboh dari Grup Rapai Sinar Pelita, Gampong Cot Dah, siap menggema, pada Sabtu 16 Agustus 2025.
Dentum pertama terdengar, dalam, berlapis, mengguncang dada. Seperti ada aliran energi yang menghubungkan setiap penonton dengan masa lalu—masa ketika rakyat Aceh berdiri teguh mempertahankan tanah air. Malam itu, Rapai Daboh bukan sekadar pertunjukan. Ia adalah bahasa jiwa yang mengingatkan akan keberanian, persatuan, dan harga diri.
Bagi masyarakat Aceh, Rapai Daboh memiliki akar sejarah panjang. Rapai—gendang besar khas Aceh—sudah dikenal sejak abad ke-16, dibawa oleh ulama dan saudagar Muslim dari Timur Tengah dan Gujarat sebagai media dakwah dan hiburan rakyat. Sedangkan daboh, atraksi menahan panas atau api, dipercaya muncul dari tradisi keagamaan yang menguji keteguhan iman.
Dalam sejarahnya, Rapai Daboh dimainkan di acara-acara besar: kenduri maulid, perayaan kemenangan perang, hingga menyambut tamu kehormatan. Dentumannya mengiringi doa, zikir, dan kisah perjuangan. Atraksi daboh, di mana pemain memegang besi panas, berjalan di atas bara, atau membakar bagian tubuh tanpa cedera, diyakini sebagai simbol keberanian dan perlindungan Ilahi.
Ismail, 58 tahun, pelatih sekaligus ketua Grup Rapai Sinar Pelita, bercerita sambil tersenyum tipis.
“Setiap pukulan rapai punya makna. Ada pukulan yang melambangkan salam, ada yang menandakan peringatan, ada pula yang memanggil semangat juang. Daboh itu bukan untuk gagah-gagahan, tapi sebagai pesan: pejuang sejati tak gentar menghadapi panasnya api kehidupan.”
Malam itu, selepas pembagian hadiah karnaval, warga membentuk lingkaran besar. Anak-anak kecil duduk di pangkuan orang tua, remaja merekam lewat ponsel, sementara orang tua menatap dengan mata berbinar. Di tengah lapangan, para pemain rapai membentuk formasi setengah lingkaran, dipimpin seorang syeikh yang memandu irama.
Dentuman semakin cepat, diselingi teriakan komando. Beberapa pemain maju, memperlihatkan atraksi daboh: memegang besi membara, menyentuh api, bahkan membakar ujung lidah. Sorak kagum terdengar, namun tak ada rasa takut—hanya takjub dan rasa hormat.
Camat Tanah Luas, Baktiar, SE, yang hadir bersama Muspika, memberikan apresiasi tinggi.
“Kemerdekaan bukan hanya diukur dari upacara dan bendera, tetapi juga dari kemampuan kita menjaga warisan leluhur. Rapai Daboh adalah warisan yang menanamkan nilai keberanian dan persatuan. Ini identitas kita,” ucapnya.
Meski masih dicintai, seni Rapai Daboh menghadapi tantangan. Minat generasi muda untuk mempelajarinya kian menurun, tergeser oleh hiburan digital dan musik populer. Ismail mengaku, butuh kerja keras untuk merekrut pemain muda.
“Dulu, anak-anak gampong sudah ikut latihan rapai sejak umur 10 tahun. Sekarang, banyak yang sibuk dengan ponsel. Kalau tidak kita ajak dengan cara yang tepat, bisa hilang tradisi ini dalam 20 tahun,” katanya.
Namun, momen seperti HUT RI memberi harapan. Malam itu, sejumlah remaja terlihat mendekat ke panggung seusai pertunjukan, bertanya tentang cara belajar rapai. Beberapa bahkan mencoba memukul rapai dengan bimbingan pemain senior.
Ketika pertunjukan usai, dentuman rapai perlahan mereda. Penonton bubar, namun semangat yang dibangkitkan tetap terasa. Di wajah para pemain, ada kebanggaan tersendiri: mereka telah menjalankan tugas menjaga warisan.
Bagi Tanah Luas, malam kemerdekaan tahun ini bukan hanya perayaan bebas dari penjajahan. Ia adalah pengingat bahwa kemerdekaan juga berarti merawat persatuan dan budaya yang telah diwariskan. Rapai Daboh malam itu menjadi bukti, bahwa suara gendang bisa menembus waktu, menyatukan hati, dan menghidupkan semangat juang dari generasi ke generasi.
Catatan Redaksi: Rapai Daboh telah diusulkan menjadi salah satu Warisan Budaya oleh Pemerintah Aceh. Pelestariannya kini menjadi tanggung jawab bersama, agar dentuman budaya ini tetap menggema di masa depan.(*)