BERITA TERKINI

Penetapan Empat Pulau Aceh ke Sumut Picu Kecaman, Dinilai Langgar MoU Helsinki dan Marwah Aceh

Nasrizal, yang akrab disapa Cek Bay
Komandan Kompi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Sagoe Kulam Meudelat Daerah IV Tgk. Chik Ditunoeng Wilayah Samudera Pase, Nasrizal, yang akrab disapa Cek Bay. Foto Ist

ACEH UTARA | PASESATU.COM – Kebijakan pemerintah pusat yang menetapkan empat pulau di perairan Aceh sebagai bagian dari Provinsi Sumatera Utara (Sumut) menuai gelombang kecaman dan penolakan dari berbagai elemen masyarakat Aceh.


Keputusan tersebut dinilai tidak hanya mencederai kedaulatan administratif Aceh, tetapi juga menyinggung aspek sejarah, identitas, dan martabat (marwah) masyarakat Aceh. Hal ini disampaikan oleh Komandan Kompi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Sagoe Kulam Meudelat Daerah IV Tgk. Chik Ditunoeng Wilayah Samudera Pase, Nasrizal, yang akrab disapa Cek Bay, pada Kamis (12/06/2025). 


Adapun keempat pulau yang dimaksud adalah Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek. Selama ini, keempat pulau tersebut diketahui berada dalam wilayah administrasi Kecamatan Pulo Banyak, Kabupaten Aceh Singkil. Namun, berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 100.2.1.3-3721 Tahun 2022, wilayah itu kini dinyatakan masuk ke dalam Provinsi Sumatera Utara, dan penetapan itu ditegaskan kembali pada April 2025 lalu.

“Ini sangat mencederai MoU Helsinki dan kekhususan Aceh. Pemerintah pusat seharusnya tidak mengambil keputusan yang dapat memicu kembalinya trauma konflik masa lalu,” tegas Cek Bay, yang juga anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Utara.

Ia juga menyesalkan pernyataan Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, yang menyebut bahwa penetapan tapal batas tersebut bukanlah masalah besar, bahkan menyarankan pengelolaan bersama sebagaimana telah diterapkan di daerah lain.

“Jangan samakan Aceh dengan daerah lain. Aceh adalah daerah otonomi khusus yang memiliki dasar hukum tersendiri. Pernyataan Mendagri itu menunjukkan sikap yang mengabaikan prinsip kedaulatan wilayah Aceh dan hanya menawarkan solusi semu yang tidak menyentuh akar permasalahan,” katanya.


Menurut Cek Bay, seharusnya bukan Aceh yang kehilangan wilayah, melainkan sebaliknya: wilayah-wilayah yang secara historis merupakan bagian dari Aceh namun sempat diserobot atau ditarik ke Sumut harus dikembalikan sesuai dengan butir-butir MoU Helsinki 2005, khususnya yang menyatakan bahwa batas wilayah Aceh harus merujuk pada peta administratif tahun 1956.

“Ini sangat mencederai perdamaian Aceh. Bukannya hasil kesepakatan damai diimplementasikan, justru pengkhianatan baru yang terus dilakukan,” kecamnya.

MoU Helsinki yang menjadi tonggak berakhirnya konflik antara GAM dan Pemerintah Republik Indonesia secara tegas memberikan kewenangan otonomi khusus kepada Aceh dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia, termasuk hak dalam menentukan batas wilayah berdasarkan sejarah dan identitas lokal.


Dengan demikian, penetapan batas wilayah Aceh seharusnya tetap mengacu pada peta administratif tahun 1956, bukan pada hasil verifikasi teknis atau penarikan batas baru yang dilakukan secara sepihak dan berpotensi merombak struktur teritorial Aceh secara tidak sah.

“Jika pemerintah pusat mengabaikan MoU Helsinki, maka ini bukan lagi sekadar soal pulau, tetapi menyangkut komitmen terhadap perdamaian nasional. Aceh bisa menilai bahwa pemerintah tidak lagi konsisten menjaga perjanjian damai,” ujar Cek Bay.

Ia menambahkan bahwa selama ini pihak GAM telah mengikuti semua instruksi pimpinan GAM sesuai dengan kesepakatan MoU Helsinki. Namun, apabila kesetiaan mereka dianggap sebelah mata oleh pemerintah pusat, maka bukan tidak mungkin gejolak konflik akan terjadi kembali.

“Kami tinggal menunggu instruksi dari pimpinan. Kami yakin pimpinan kami tidak akan membiarkan pengkhianatan ini terus terjadi. Dan jika hal itu terus dilakukan oleh pemerintah pusat, lebih baik kami yang berada di lembah eksekutif dan legislatif melepaskan jabatan tersebut,” tegas Cek Bay.

Ia pun mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk segera membatalkan keputusan Mendagri demi menghindari potensi konflik baru di Aceh. 

“Sudah dua dekade Aceh dan RI merawat perdamaian. Jangan biarkan kepentingan kelompok tertentu atau keputusan sepihak justru merusaknya,” tegasnya lagi.

Tak hanya itu, Cek Bay juga mendesak presiden untuk mengambil sikap tegas terkait keputusan Mendagri yang dinilai gegabah dan inprosedural dalam mengambil keputusan strategis yang berdampak langsung pada wilayah dengan status otonomi khusus seperti Aceh.


Secara historis, keempat pulau tersebut telah lama dikelola oleh Pemerintah Aceh. Sejak tahun 2007 hingga 2015, Pemerintah Aceh bahkan telah membangun berbagai infrastruktur di wilayah itu, seperti musala, rumah singgah, tugu prasasti batas, hingga dermaga.


Data historis lainnya turut memperkuat klaim Aceh atas pulau-pulau tersebut. Peta topografi TNI AD tahun 1978 serta kesepakatan batas wilayah tahun 1992 secara jelas menunjukkan bahwa keempat pulau itu merupakan bagian integral dari Aceh.


Namun demikian, Kementerian Dalam Negeri beralasan bahwa hasil rapat verifikasi batas wilayah pada tahun 2017 dan 2020 menyimpulkan bahwa secara teknis keempat pulau tersebut masuk dalam wilayah administrasi Sumatera Utara. Alasan ini ditolak mentah-mentah oleh pihak Aceh, yang menegaskan bahwa tidak pernah ada keputusan final dan sah yang disepakati bersama untuk melepaskan keempat pulau tersebut dari wilayah Aceh.(*)

Editor: Syahrul Usman